Mungkinkah seorang yang meninggal, bahkan berulang kali meninggal. Namun, tetap hidup, sehat dan bugar?
Jawabnya mungkin. Untuk menjelaskan fenomena itu. Maka, saya buatlah tulisan ini.
Dalam Islam, hukuman terberat yang patut diterima oleh seorang pesakitan adalah hukuman mati. Seseorang yang berbuat kesalahan dan kesalahan itu, tidak terampuni. Maka, sang terdakwa patut dihukum dengan hukuman terberat, yakni hukuman mati.
Kesalahan terbesar, yang dilakukan manusia muslim, adalah membunuh seorang muslim. Karena kesalahannya maksimum. Maka, hukumannya juga harus maksimum. Membunuh jiwa yang tidak bersalah, maka harus dibunuh.
Kini, timbul pertanyaan, apakah ada kesalahan yang lebih besar dari kejahatan pembunuhan? Jawab dari pertanyaan ini. Sebaiknya kita kembalikan pada dzat yang Menciptakan kita. Yakni, Allah SWT.
Melalui ayat Nya, Allah menyatakan, bahwa fitnah lebih besar dari pembunuhan. (QS. A;-Baqarah: 191).
Artinya, pihak yang melakukan fitnah. Telah melakukan kejahatan yang nilai kejahatannya melebihi dari pembunuhan. Sementara pihak yang difitnah, adalah pihak yang terbunuh. Bahkan, kekejaman yang diterimanya, lebih sakit dari sakitnya kematian itu sendiri.
Pihak korban fitnah inilah yang saya maksudkan sebagai pihak yang meninggal. Meski, korban ini masih hidup, sehat dan bugar.
Sesuai dengan kaidah "korban". Maka, pihak yang terbunuh ini, seluruh dosanya ditanggung atau berpindah pada pihak pembunuh. Artinya, pihak korban, dia hidup kembali (setelah di fitnah) dengan tanpa dosa. Bersih bagaikan anak yang baru dilahirkan oleh sang Bunda.
Bagaimana bisa seorang menjadi korban fitnah? Tentu saja bisa. Tanpa peduli apakah dia melakukan atau tidak melakukan apa yang menjadi obyek fitnah tersebut.
Mengapa? Karena Allah sayang pada individu yang menjadi korban fitnah. Dengan menjadi korban fitnah. Sang individu mengalami "transformasi" dosa. Memperoleh jalan pintas yang sangat pendek untuk bersih dari segala dosa yang selama ini menjadi beban baginya. Beban yang kelak akan dia pertanggung- jawabkan di hadapan sang Khaliq.
Namun, dengan menjadi korban fitnah. Dosa itu, seketika sirna. Akibatnya, sang korban, terbebas dari kewajiban mempertanggung-jawabkan apa yang menjadi point negatifnya, di hadapan sang Khaliq kelak.
Sampai disini. Kondisinya berubah. Pihak korban, justru menjadi pihak yang tidak dirugikan sama sekali. Pihak yang sama sekali tidak perlu dikasihani. Mengingat "sakit" yang dia derita, tidak sebanding dengan "profit" yang dia terima. Berupa ampunan Allah berupa bersihnya sang Korban dari dosa.