Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Logika yang Amburadul

28 Mei 2020   05:39 Diperbarui: 28 Mei 2020   05:48 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalanya, saya tidak mau banyak berkomentar tentang Covid 19. Jika pun saya menulis tentang Covid 19, tulisan saya selalu membawa pesan optimis. Namun, kenyataan yang terjadi.  Membuat saya prihatin. Akhirnya, saya buatlah tulisan ini.

Apa pasal? Karena, logika yang digunakan oleh sang peguasa, amburadul. Khususnya, dalam masalah Covid 19. Seperti;

Satu. Meninggalkan esensi, sibuk dengan logika akal-akalan.

Seperti awal-awal pada masa pandemic. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh pembawa acara yang cukup terkenal. RI.1. membedakan pengertian antara mudik dan pulang kampung.  Sungguh, logika yang digunakan amburadul. Bagaimana mungkin, sang virus dapat membedakan individu yang akan disinggahinya, seorang pemudik atau seseorang yang pulang kampung.

RI.1. lupa. Bahwa, esensi dari penyebaran virus Covid 19, adalah pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Terlepas, apakah yang bergerak pindah itu, individu yang sedang mudik, atau pulang kampung.  Esensinya, dalam proses pergerakan itulah, kemungkinan sang individu terjangkiti  Covid 19. Apakah, tersebab oleh tempat yang dia duduki, atau pegang,  juga manusia yang dia temui dalam proses pulang kampung/mudik,  sudah terjangkit Covid 19.

Dua. Ada diskrimanasi perlakuan. 

Awalnya mudik dilarang, beberapa individu yang coba menembus larangan, dengan naik truk, atau menaikkan kendaraannya di atas truk atau container, terkena razia petugas. Lalu, menerima konsekwensi dari pelanggaran yang dilakukannya.

Tiba-tiba, larangan ini, di modifikasi, dengan mengizinkan mudik, jika menggunakan pesawat udara. Akibatnya, terjadi penumpang di bandara Soetta pada tanggal 15 Mei.   

Dari kejadian di atas. Logikanya, justru dengan penumpukan manusia di Bandara, kemungkinan terjangkit virus Covid 19 lebih besar  terjadi di Bandara, dibandingkan dengan mereka yang mudik dengan kendaraan pribadi.  Di samping, adanya perasaan tersinggung pada masyarakat grass root, seakan mereka di diskriminasi hanya karena jumlah nominal uang yang mereka miliki tak sebanyak pada mereka yang menggunakan pesawat udara.

Tiga. Kerancuan antara ucapan dan prilaku.

Dalam ammar RI.1. yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Status Bencana Nasional Nonalam Covid 19. Tentang PSBB. Menyuruh masyarakat untuk menjaga jarak antara satu dengan lainnya.  Berdiam di rumah dan tidak melakukan aktifitas di luar rumah, kecuali untuk kondisi yang sangat mendesak. Namun, apa yang terjadi? RI.1. membagikan sembako pada masyarakat.  Terjadi  penumpukan masyarakat yang antri  berharap memperoleh sembako.

Pertanyaannya, dimana korelasi logika, antara menyuruh "menjaga jarak" dengan membagikan sembako secara "live" yang  mengakibatkan penumpukan manusia?

Menyuruh masyarakat untuk berdiam di rumah.  Pada saat yang sama memasukkan 500 TKA asing, yang nota bene berasal dari Negara sumber Covid 19.

Puncak kekonyolan terjadi.  Ketika, berlangsung konser music di akhir ramadhan kemarin.  Bukan hanya, logika yang digunakan amburadul, sekaligus menyinggung perasaan umat Islam.  Dalam kondisi tidak ada PSBB saja, konser di sepuluh akhir Ramadhan tidak lazim, apalagi pada kondisi PSBB.

Empat. Logika yang amburadul, menghasilkan sesuatu yang amburadul.

Saya kenal seorang teman yang sudah tiga bulan mengurung diri di rumah, dengan taat mengikuti anjuran Pemerintah. Namun, dengan konser music yang dia saksikan di medsos, beliau menghentikan "tapa" tiga bulannya di rumah.

Berbagai kekecewaan merebak.  Tagar "Indonesia Terserah" hanya kekecewaan yang terlhat di permukaan. Untuk yang di grass root, saya tidak bisa bayangkan.

Padahal, sebagaimana yang disebutkan Ketua Gugus Tugas  Percepatan Penanganan Covid 19 Doni Monardo;"Hingga kini, belum ada kepastian kapan pandemic virus Covid 19 akan berakhir".

Lalu, apa yang akan terjadi selanjutnya? Bagaimana solusi selanjutnya?

Di sinilah, dibutuhkan logika sehat, runut dan tidak bertabrakan antara satu dengan lainnya.

Perjalanan masih panjang kawan.

.

Wallahu A'laam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun