Pada 18 Juli 1980 pusat perbelanjaan Sarinah yang merupakan Pusat Perbelanjaan mewah dimasa itu habis terbakar. Tak berapa lama kemudian, Jembatan penghubung yang menghubungkan antara Jakarta Theatre dan Sarinah, juga ambruk.
Jika terbakarnya Sarinah diduga sengaja dibakar karena munculnya pusat perbelanjaan baru yang bernama Ratu Plaza. Tetapi, robohnya Jembatan penyeberangan yang menghubungkan Jakarta Theatre -- Sarinah murni disebabkan kesalahan tekhnis.
Jembatan penyeberangan yang di design oleh Prof.Ir. Roesenno, sebagai Bapak Beton Indonesia itu, awalnya memang di disain untuk lalu lintas manusia, menghubungkan antara Jakarta Theatre dengan Pusat Perbelanjaan Sarinah.
Namun, pada perkembangan selanjutnya, dibukalah stand-stand toko di sana, semacam pertokoan yang berada diatas jalan wuruk, Glodok. Akibatnya, terjadi penambahan beban yang melebihi kapasitas dari rencana daya dukung beban, seperti rencana awal. Sehingga, ketika Jembatan tidak mampu menyangga beban yang berada diatasnya. Jembatan Ambruk.
Pada kondisi eksakta, yang semuanya dapat dihitung secara matematika. Kita dengan mudah mendefinisikan "berlebihan". Artinya, ada jumlah bilangan yang melebihi angka yang direncanakan atau disepakati sejak awal.
Namun, bagaimana mendefinisikan sesuatu yang bukan eksakta, tentang kata berlebihan. Berlebihan menyayangi anak, berlebihan menyayangi isteri, kekasih, sahabat, tanah air dan lain sebagainya.
Agaknya, kajian ini, perlu untuk dibahas. Agar kita mampu mengklasifikasikan, benarkah gejala yang sedang kita lihat atau alami, sebagai gejala yang berlebihan. Atau sesungguhnya hal demikian sebagai sesuatu yang biasa saja. Tetapi, kita yang gagal melihatnya dengan kaca mata jernih. Sehingga, terlihat sebagai sesuatu yang berlebihan.
Ketika Aisyah, isteri Rasul yang amat Rasul sayangi sedang kedatangan tamu, ada seorang peminta-minta yang mengetuk pintu beliau. Sang peminta, diberikan sepiring makanan, lalu makan pemberian Aisyah dengan duduk di tikar di ruang tamu. Sedangkan untuk sang tamu. Aisyah mengajak sang tamu makan dengan menu yang sama. Namun, dengan duduk di Meja Makan.
Berlebihankah sikap Aisyah memperlakukan sang tamu? Tentu tidak. Jika demikian, tentu sikap Aisyah pada sang peminta, kurang dari standard kepatutan. Juga tidak.
Untuk sang peminta, nilai sepiring makanan, melebihi dari soal tempat dimana makanan akan dia santap. Sedang bagi sang tamu, antara makanan dan tempat, memiliki nilai yang sama. Sang tamu akan terhina jika duduk di tempat sang pengemis makan.
Ternyata, beda antara tamu dan pengemis bukan pada makanan yang disantap. Melainkan, pada maindseat pola pikirnya.
Makin tinggi "derajad" seseorang, makin tinggi kebutuhannya pada Asesories. Itu sebabnya, harga secangkir kopi pada kedai kopi hanya sepersepuluh harga kopi yang sama ketika dihidangkan di coffee Shop.
Pada kasus lain. Ketika penghuni Neraka hendak dipindah ke Syurga. Sang penghuni merasa minder dan menolak. Biarlah dia di neraka saja. Tubuhnya yang hitam legam terbakar api, rasanya tidak pantas untuk masuk Syurga, dimana penduduk Syurga berkulit putih bersih. Pakaiannya yang compang camping, tidak layak untuk disandingkan dengan pakaian penduduk Syurga.
Padahal, Allah tak melihat pada tubuh yang hitam legam dan pakaian yang compang camping. Allah hanya melihat pada hati sang kandidat syurga yang sudah bersih karena dicuci dengan api Neraka selama ini.
Berlebihankah Allah, ketika memindahkan sang hitam legam dengan pakaian compang camping ke Syurga? Jawabnya tidak berlebihan. Karena dia memang sudah pantas untuk memperoleh fasilitas itu, sudah pantas untuk mendapat kasih sayang yang berjibun itu.
Jangan katakan Allah berlebihan. Sebab, ketika kata berlebihan itu kau ucapkan. Itu artinya, kau terbelenggu dengan masa lalumu, kau sedang berusaha untuk menikmati siksa yang kau terima selama ini. Kau belum mampu untuk move on, memasuki dunia yang sama sekali baru dengan dunia masa lalu mu.
Yang dibutuhkan seorang untuk memasuki dunia yang sama sekali baru, bukan menolak dunia baru itu. Melainkan, merubah maindseat yang ada di kepalanya selama ini. Merubah pola pikir, bahwa saya bukan pengemis yang meletakkan nilai sepiring makanan di atas segalanya, termasuk tempat dimana makanan itu, layak untuk disantap. Juga, saya bukanlah seorang penghuni Neraka yang menikmati segala kesengsaraan dengan dalih itu bagian dari takdir hidupku.
Tetapi terimalah semua, sebagai takdir baru. Takdir yang memang pantas untuk diterima.
Jika masih menganggap diri kurang pantas. Maka, langkah terpendek untuk itu, pantaskan diri dengan perilaku baru. Prilaku pengemis berganti perilaku tamu agung, perilaku penghuni Neraka menjadi perilaku Syurga.
Dalam hidup ini, apa yang tidak mungkin?
.
Wallahu A'laam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H