Untuk kopi segelas saja, penumpang harus membayar  seharga sepuluh ribu, nasi rames dengan ikan sepotong kecil, yang di warung padang seharga lima belas ribu, di tempat pemberhentian bus ALS menjadi tiga puluh lima ribu. Nasi goreng yang ala kadarnya saja menjadi dua puluh ribu, belum lagi harga chas HP yang hanya setengah jam atau paling lama satu jam, seharga lima ribu.
Keluhan yang lain, BUS ALS Â dengan kelas eksekutif dan super eksekutif itu, tidak memberikan pelayanan charger untuk penumpangnya. Ada memang stop kontak untuk charger HP. Tapi, aliran listriknya sering dimatikan, dengan alasan mempengaruhi kemampuan BUS untuk berlari kencang atau mendaki pada perjalanan menanjak. Sebuah alas an yang menggelikan.Â
Padahal, banyak penumpang saat ini, menggunakan gadget untuk kepentingan kerja dan Bisnis mereka. Dapat dibayangkan, bagaimana gelisahnya penumpang jenis ini. Banyak transaksi yang gagal dan banyak laporan yang tertunda untuk dikirimkan.
Selanjutnya, moment kebangkitan angkutan darat, setelah beberapa saat lesu, karena murahnya angkutan udara, perlu kita sambut gembira.
Kegembiraan ini, patut pula disambut oleh mereka para pengusaha angkutan darat, dengan cara memberikan pelayanan yang lebih baik bagi penumpangnya.Â
Jika tidak, saya kuatir, moment ini akan segera berakhir dengan inovasi yang akan dilakukan penumpang yang kecewa. Caranya, bisa saja, mereka mencharter kendaraan bersama-sama dan meninggalkan moda angkutan antar kota antar provinsi.
Semoga saja, inovasi itu tidak akan terlaksana, karena pengusaha angkutan BUS AKAP dengan segera memperbaiki pelayanannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H