Siang tadi saya sholat Jum'at di salah satu mesjid di Desa Sukaraja, Kecamatan Malingping. Kabupaten Lebak. Banten. Selesai sholat, seorang sahabat bertanya; apa kesan saya setelah melaksanakan sholat Jum'at di Mesjid itu. Saya menjawab; Serasa sholat di Mesjid Nabawi Madinah.
Mendengar jawaban saya, sang sahabat terkejut. Melihat ekspresi wajahnya yang terkejut. Saya jelaskan padanya, apa yang saya maksudkan dengan Serasa sholat di Mesjid Nabawi Madinah itu.
Dengan pertimbangan, terasa mubadzir, jika hanya sang sahabat yang mengetahui penjelasan saya. Maka, saya buatlah artikel di Kompasiana, tentang apa yang saya jelaskan pada sahabat saya itu.
Berikut penjelasan yang saya berikan pada sahabat saya itu.
Karena, sang khotib ketika memberikan khutbah, seluruhnya menggunakan bahasa Arab. Tanpa sedikitpun menggunakan bahasa Indonesia. Maka, saya dapat simpulkan kejadian siang itu sebagai berikut:
Satu.
Hanya di Mesjid Nabawi Madinah --juga seluruh Jazirah Arab yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa Ibu, saat Khotib naik mimbar, seluruh khutbah menggunakan bahasa Arab-. Khutbah Jum'at menggunakan bahasa Arab. Itu sebabnya, saya katakan serasa sholat di Mesjid Nabawi Madinah. Karena suasana demikian persis seperti apa yang saya alami di Madinah tempo dulu.
Dua.
Ada tradisi yang baik di kalangan santri di daerah Banten. Untuk menghormati para ustadz dan guru. Mereka memperlakukan ustadz dan guru ketika dihadapan mereka dengan perilaku memperbanyak mendengar dan mengurangi mengeluarkan pendapat.
Dengan menggunakan khutbah Jum'at dalam bahasa Arab. Maka, sang khotib mengurangi pendapat pribadi. Kecuali, pendapat-pendapat yang sudah menjadi ketentuan dalam hadist dan ayat-ayat dalam al-Qur'an. Hal demikian, dimaksudkan sebagai perwujudan santri dalam Tawadhu pada jamaah sholat Jum'at. Sebab, ada kemungkinan diantara jamaah, terdapat guru dan Ustadz dari sang Khotib.
Tiga.
Alasan lain. Sang khotib ingin mempercepat khutbahnya. Maka, menggunakan bahasa Arab keseluruhannya, menjadi modus bagi khotib untuk mempersingkat waktu peribadatan Sholat Jum'at. Pada umumnya, ayat dan hadist yang dibaca khotib adalah ayat-ayat dan hadist pendek-pendek saja. Uraian tentang tafsir ayat dan hadist itulah yang membutuhkan waktu panjang. Dengan tidak adanya tafisran dari hadist dan ayat. Maka, waktu yang dihabiskan untuk khutbah Jum'at dapat diperpendek.
Empat.
Ketika saya tanyakan pada seorang jamaah, apakah dia mengerti apa yang dikhutbahkan oleh sang khotib. Jawaban yang saya peroleh "tidak tahu".
Tetapi, lanjutnya. Yakinlah, bahwa semua yang disebutkan dan diuraikan sang khotib, pada khutbah Jum'at itu. seluruhnya ajakan pada kebaikan dan mencegah dari jamaah dari perbuatan munkar.
Jika sudah demikian pendapat jamaah sholat Jum'at. Lalu, untuk apa dibahas lagi, perihal mengerti atau tidak apa yang disampaika oleh sang khotib. Tokh, tidak semua masalah, kita harus mengetahuinya secara detail. Termasuk, dalam soal komunikasi, antara khotib yang sedang naik mimbar dengan jamaah sholat Jum'at. Karena, prisip dalam komunikasi, lawan yang kita ajak berkomunikasi, paham apa yang kita masksud.
Analognya, ketika seorang Bayi lapar. Sang bayi tidak perlu meneriakan kata lapar pada Ibunya. Cukup dengan menangis yang keras. Maka, sang Ibu, dengan reflek dan tergopoh-gopoh menyorongkan puncak dadanya pada mulut sang bayi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H