Semalam, datang utusan ke rumah Bae, Bae diminta datang ke rumah Haji Rauf, jika tidak melaut. "ada sesuatu yang penting" begitu pesan haji Rauf, pada Sam'un yang menyampaikan pesan haji Rauf.
Dan sore ini, Bae sudah duduk di beranda haji Rauf. Pak Haji yang dermawan itu, masih dengan senyum arifnya duduk tidak jauh dari Bae.
Setelah basa-basi sejenak, Haji Rauf menyampaikan maksudnya.
"Begitulah Bae, bukannya Bapak tidak tahu hubungan kalian. Sejak dulu kalian di SMA Bapak telah tahu. Itu juga alasan, mengapa Bapak memberikan Bae fasilitas untuk membeli kapal dengan cara kredit pada Bapak. Bahkan tanpa bunga sepeserpun. Namun, Bapak ingin, anak semata wayang Bapak, mendapat jodoh orang kota. Bapak ingin, keluarga ini, tidak bergantung lagi pada cuaca. Pada Alam. Alam yang kini, sulit diprediksi perubahannya.
Seminggu yang lalu, keluarga calon besan itu, telah melamar Muti. Calon menantu Bapak itu, dosen dimana Muti kuliah. Bapak yakin, berita ini, adalah sesuatu yang berat untuk Bae, juga untuk Muti.
Tapi, biarlah. Kadang untuk sesuatu perubahan, kita harus menerima sesuatu yang berat pada awalnya. Seperti Bae awal-awal melaut. Seperti Muti, awal-awal berpisah dengan orang tuanya, untuk kuliah di kota.
Bapak berharap, Bae dapat menerima permohonan Bapak, untuk ikhlas melepaskan Muti. Bapak juga berharap, tetaplah jadi keluarga Bapak. Tidak jadi menantu. Tapi jadilah anak Bapak. Karena bapak hanya punya anak semata wayang, Muti. Nanti, ketika Muti diboyong ke kota oleh suaminya. Maka, Bae lah yang menemani Bapak dan Ibu, sebagai anak Bapak, menggantikan posisi Muti.
Haji Rauf, terus berkata-kata, tentang harapannya, baik untuk dirinya sendiri, untuk Muti, juga untuk Bae.
Bae, hanya sekali-sekali, mengangguk, tersenyum dan berkata iya.
Dikemas dalam tutur semanis apapun dan seindah apapun. Bagi Bae, inilah sore tersulit dalam hidupnya. Muti akan berjodoh dengan orang kota. Kondisi itu, semakin sulit lagi, karena Bae harus tetap mengunjungi keluarga ini. Baik dengan alasan untuk melunasi angsuran kapal yang tinggal delapan bulan lagi. Atau sebagai anak yang mengunjungi orang tua, selepas kelak Muti diboyong sang suami ke kota,
Hari terus merangkak menuju senja. Haji Rauf masih dengan kata-kata bijak yang keluar dari mulutnya. Bae sudah semakin gelisah. Semua yang dia dengar, dia lihat, semuanya diluar dugaan dan nalarnya. Â Adzan dari Musholla di ujung jalan, akhirnya membebaskan Bae. Dengan izin akan melaksanakan sholat Maghrib, Bae berdiri, beranjak meninggalkan rumah haji Rauf menuju Musholla.