Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Aku Tak Seperti yang Kau Lihat

30 November 2017   20:39 Diperbarui: 30 November 2017   20:40 1275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diawal tahun 2000'an sahabat-sahabat saya sering aneh melihat perilaku saya. Apapun yang menimpa saya selalu saya katakan dengan awalan kalimat Alhamdulillah.

Ketika itu, perusahaan tempat kami mengerjakan konstruksi mengalami kerugian besar, sehingga PHK dilakukan besar-besaran, saya termasuk di dalamnya. Semuanya sahabat mengkhawatirkan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Saya, ketika ditanyakan apa yang akan saya lakukan, dengan reflex saya jawab :"Alhamdulillah saya sudah di PHK."

Sahabat saya merasa aneh? Apa sesungguhnya maksud jawaban saya dari pertanyaan mereka? Itu artinya, saya diberikan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik lagi dengan cara diberi bekal sebulan gaji untuk berleha-leha terlebih dahulu dengan keluarga. Demikian jawaban saya.

Pada tahun 2015 saya memiliki cukup banyak uang. Ketika itu, beberapa sahabat dapat jatah cuti, termasuk saya. Untuk transportasi ke rumah dari Medan, tempat lokasi proyek kami, sahabat-sahabat saya menggunakan menggunakan Pesawat. Sedang saya menggunakan kapal laut, KM Kelud. Mereka heran? Mengapa menggunakan Kapal Laut, bukan pesawat?. Kasihan amat, mungkin menghemat ongkos, demikian mungkin yang terlintas dalam pikiran mereka.

Pertengahan tahun 2016, saya juga memiliki cukup uang. Saat itu, saya berada di Pulau Bunga, Flores. Saya dapat saja pulang dengan menggunakan pesawat, sehingga dalam waktu sehari saja, saya telah tiba di rumah. Namun, yang saya lakukan adalah, saya mengendarai sepeda motor roda menyusuri daratan pulau Flores, Nusa Tenggara Barat, Lombok, Bali hingga tiba di ujung Barat Pulau Jawa, tempat dimana lokasi kediaman saya berada. Untuk itu, saya butuh waktu dua minggu untuk tiba di rumah.

Coba lihat tiga peristiwa diatas. PHK, Naik KM Kelud dan Naik Sepeda Motor selama dua minggu. Semuanya, menimbulkan kesimpulan keprihatinan --miskin, tak memiliki cukup uang- demikian yang ada dibenak sahabat-saabat saya.

Yang mereka lihat, secara fakta dan realitanya benar. PHK, naik KM Kelud, naik Sepeda Motor. Namun, apakah kesimpulan dari yang dilihat itu benar? Disinilah masalahnya. Untuk menjabarkan itu, maka saya buatlah tulisan ini.

Aku tak seperti yang kau lihat itu.

Fakta dan kesimpulan tak selalu memiliki korelasi yang sama.

Fakta disatu sisi tak identik dengan kesimpulan disisi yang lain.

Fakta tak selalu memiliki alasan sendiri untuk diklaim sebagai kesimpulan yang umunnya terjadi, melainkan terkadang, memiliki alasan sendiri, mengapa hal itu terjadi.

 

Tergantung cara pandang melihat masalah.

Fakta atau data boleh saja sama. Namun, reaksi atas data atau fakta itu, dapat saja bermacam-macam. Apa yang membedakannya? Yakni, cara pandang, cara kita memikirkannya dan cara kita bereaksi pada fakta.

Faktanya, memang kami di PHK. Cara pandang saya berbeda dengan para sahabat saya. Bagi saya, PHK cara untuk pindah pada pekerjaan yang lebih baik lagi, dengan cara saya diberi kesempatan leha-leha sebulan. Dengan istirahat sebulan, maka akan timbul pikiran jernih. Dengan pikiran jernih dan kondisi fisik yang fresh. Saya akan mampu mengemban amanah baru pada pekerjaan baru yang lebih baik lagi, pekerjaan yang menuntut konsentrasi yang lebih prima lagi. Tak membutuhkan waktu sebulan. Dua minggu kemudian, saya memperoleh kerja dengan tuntutan tanggung jawab yang lebih besar lagi, itu artinya, setara dengan pendapatan yang lebih besar lagi.

Faktanya, memang saya naik KM Kelud. Apakah saya jadi sedih atau merasa miskin karena tidak naik Pesawat? Tentu saja tidak. Saya memiliki cukup uang untuk naik pesawat, bahkan sekelas Garuda sekalipun.

Tetapi, dengan naik KM Kelud, banyak hal-hal yang selama ini luput dari perhatian saya, dapat saya ketahui dengan detail. Bagaimana etos kerja inang-inang dalam membantu ekonomi keluarganya, bagaimana mereka membawa sayur-mayur dan segala kebutuhan dapur dari Medan untuk mereka jual di Batam. Bagaimana mereka memenuhi geladak kapal dengan segala barang dagangannya, lalu membuka pasar kaget masih di areal pelabuhan laut Batam, ketika KM Kelud sandar selama empat jam di Batam. Jika saja etos kerja Inang-inang dalam membantu ekonomi keluarga, dapat ditularkan pada seluruh wanita di Indonesia, tak perlu lagi ada TKW yang keluar negri, tak perlu lagi ada cerita yang mengharu biru tentang kekejaman yang dialami TKW kita di luar negri.

Bagaimana saya tahu tentang perjuangan pada penumpang di Karimun untuk naik ke KM Kelud karena tiadanya tempat untuk sandar kapal sekelas KM Kelud, jika saya tak ikut dengan KM Kelud. Para penumpang harus naik perahu dulu ketengah laut, lalu mendekat pada KM Kelud, sebelum akhirnya naik ke KM Kelud. Kondisi yang sangat memperihatinkan. Jika saja salah menginjakkan kaki. Maka, akan terjatuh ke dalam laut. Kondisi yang mengingatkan saya akan pengungsi Vietnam dengan kapal perahunya yang terkatung-katung di laut bebas.

Dari mana saya tahu, jika kementrian perhubungan telah melakukan transformasi angkutan bukan hanya pada angkutan Kereta Api, melainkan juga pada kapal-kapal Pelni yang mereka miliki, jika saya tak melihatnya secara live, jika saya tak ikut jadi penumpang pada KM Kelud.

Faktanya, memang saya naik motor roda dua selama dua minggu dari Flores untuk tiba dirumah di ujung barat pulau Jawa. Namun, apakah bisa disimpulkan saya menderita karenanya? Tidak benar kesimpulan itu. Mengapa? Kapan lagi ada kesempatan, laki-laki seusia saya dengan bilangan umur 55 tahun, dapat melalukan touring sorang diri menempuh perjalanan sejauh itu. Dengan jarak yang mendekati empat belas ribu kilometer. Kapan lagi, saya dapat mengenali keindahan nusantara dengan versi suka-suka saya. Saya dapat berhenti dimana saya suka, berbicara dengan semua orang, mengetahui secara detail obyek yang saya kunjungi, mengetahui secara detail budaya masayarakat yang saya jumpai dan tidur dimana-mana saya suka, mulai dari tidur di pinggir pantai hingga bermalam disisi pelabuhan kosong karena tiadanya kapal penyeberangan dan tidak adanya penginapan.

Hasil fenomenal dari perjalanan seorang diri itu, lahirlah buku "Menapak Jejak Soekarno di Ende".

Apakah buku yang saya tulis itu, akan lahir, jika saya naik pesawat dari Flores?

Apakah perjalanan dua minggu dengan motor roda dua, berarti saya menderita?

Akhirnya, saya hanya ingin mengingatkan pada kita semua, Ingat, fakta itu tidak penting, yang paling penting, respons kita terhadapnya.

Wallahu A'laam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun