*****
Masih berdiri di dermaga, Menan menghirup udara dermaga Muara. Udara yang selalu terasa lain, ketika memasuki paru-paru Menan. Udara yang memasuki paru-parunya ketika awal-awal kehidupan Menan, udara yang dia hirup ketika dia dibawa Mandeh untuk melihat kapal yang sandar.
Ada beberapa tukang Bendi yang menawarkan pada Menan, kemana akan diantar. Perlahan Menan menggelengkan kepalanya. Bukannya tak mau berbagi uang recehan pada tukang Bendi. Tapi, kemana dia akan dihantarkan?. Menan sendiri tak tahu.
Menan terus melangkah, terus melangkah, jalan yang dia tapaki ini, jalan yang sangat dia kenali tiap sentinya, karena dijalan inilah dulu Mandeh membimbingnya menuju dermaga Muara, menuju surau Buya Rusdy. Surau yang dipenuhi dengan cinta pada Allah sekaligus cinta pada sesama manusia, dengan kebijakan Buya Rusdy pula, Menan kadang diijinkan untuk pulang, tidur di rumah mandeh. Dengan cinta Mandeh pula, Mandeh membuat kunci rahasia di pintu depan, sehingga, jam berapapun Menan pulang, Menan dapat masuk ke rumah, dapat makanan "anyang" kesukaan Menan. Karena Mandeh selalu membuatkannya untuk Menan.
Di pertigaan itu, Menan berhenti sejenak. Masih lengang seperti dulu. Hanya saja, kini lampu penerangan sudah ada. Suasanya jadi lebih hidup.
Menan berdiri lama, mau kemana? Berbelok ke kanan ke surau Buya Rusdy. lurus, kerumah Mandeh. Tapi, apakah rumah itu masih ada? Bukankah ketika dia meninggalkan kampung ini tiga tahun lalu sepeninggal Mandeh, tanah itu sudah diwakafkan. Lalu untuk apa mereka mempertahankan rumah reyot itu? Kalaupun masih ada, Mandeh sudah tak ada. Tak di rumah reyot itu lagi.
Menan melanjutkan perjalanan, tidak berbelok kanan, tapi lurus. Jalan yang menuju rumah Mandeh. Meski, Menan yakin sepenuh yakin, jika gubuk reyot Mandeh sudah tak ada lagi.
Lewat penurunan, Menan tiba pada tentang rumah Mandeh, benar rumah itu tak ada lagi, suara orang mengaji dari surau buya Rudsy juga tak terdengar, padahal baru jam sepuluh malam. Lama Menan menatap tanah kosong yang tak tersisa lagi rumah Mandeh. Tak tahu apa yang dia perbuat. Kemana langkah ini akan dilanjutkan.
Sementara dilangit bintang bersinar sempurna, tak ada awan sedikitpun, bulan diatas, tinggal bagaikan sabit, maklum ini tanggal 27 Ramadhan, tiga hari lebaranpun tiba.
Menan masih meneruskan langkahnya. Â Tiga ratus meter di depannya, jika dia terus melangkah, maka Menan akan tiba di pemakaman umum. Disana Mandeh beristirahat.
Menan ingin menjumpai Mandeh, tepatnya pusara Mandeh. Perempuan yang telah menyabung nyawanya untuk kehadiran Menan di muka bumi ini. Perempuan yang menghabiskan siang dan malamnya untuk membesarkan Menan, tersebab ayahnya hilang ditelan laut ketika mencari ikan di tengah lautan. Perempuan yang gagal dia balas budinya, ketika dia bawakan materi sepulangnya merantau. Mandeh telah terbujur kaku di sajadah sendiri, sunyi, dalam penantiannya menunggu kepulangan Menan. Satu-satunya yang sempat Mandeh pakai, hanya kain yang dibawa pulang untuk dijadikan kafan Mandeh.