Rasa bahagia ini, seakan menyentak-nyentak untuk dibagi. Tapi, pada siapa? Pada anak-anak Itha takut keceplosan omong. Ada hal yang dapat disampaikan pada anak, ada juga yang tidak boleh. Memilah mana yang boleh dan tidak boleh ini, menjadikannya ragu untuk berbagi pada anak-anak. Pada Nur’aini? Akh, tentu dia sudah tertidur, teman akrab Itha itu, suka tidur sebelum larut. Akhirnya, pilihan jatuh pada Allah. Dzat yang tak pernah bosan mendengar segala keluh kesah Itha. Apa salahnya, jika kini Itha menyampaikan rasa bahagia yang dia rasa? Meski, pihak yang “Disampaikan” lebih mengetahui apa yang dirasa daripada pihak yang menyampaikan.
“Daeng Baso… sudah hampir jam 4” dengan suara pelan Itha berbisik pada telinga Baso.
“Astaghfirullah…” reflek Baso duduk. Masih dengan wajah terlihat lelah, dia tersenyum pada Itha. Baso berdiri melangkah ke Toilet.
Berdua pasangan yang tak muda lagi itu, turun ke Bawah untuk makan sahur, menjemput nikmat Allah yang sudah tersedia, agar ringan untuk melaksanakan nikmat yang lain lagi.
******
Ada budaya di Flores, yang hingga kini masih hidup, apa yang disebut dengan “Istirahat Siang” yakni waktu istirahat yang berlangsung agak panjang. Mulai jam dua hingga empat sore. Pada saat istirahat siang itu, jalanan sepi, toko sebagian besar tutup. Aktifitas kota kembali bergeliat setelah pukul setengah lima sore.
Jam istirahat baru saja usai, Matahari sudah tak segarang siang tadi, ketika Baso dan Itha mulai melangkah menyusuri kota Ende. Rencana sore ini, mereka akan menziarahi makam Ibu Amsi, Mertua Bung Karno dari istri pertamanya Ibu Inggit.
Bapak ikuti jalan utama ini, jangan berbelok-belok, sambil Bapak menghitung jumlah mesjid yang Bapak lalui. Mesjid pertama sebelah kanan jalan, mesjid kedua sebelah kiri, dan Mesjid ketiga sebelah kanan lagi. Setelah Mesjid ke tiga itu, Bapak tanya lagi. Masyarakat pasti kenal dengan alamat yang Bapak cari. Begitu keterangan yang Baso terima ketika menanyakan alamat Makam Ibu Amsi. Makam mertua Soekarno, ibunda dari Ibu Inggit yang dimakamkan di Ende ini.
Tak sulit memang, menemukan letak pemakaman Ibu Amsi. Alamatnya, segera ketemu. Masalahnya, yang mana letak makam itu. Ada memang, makam yang lebih menonjol tampilannya dibanding makam yang lain. Tapi, tanpa nisan, tanpa pengenal apapun. Hingga, kita tak tahu siapa yang dimakamkam disana.
Itha merasa ada tangan kekar yang membimbingnya menuju rindangnya pohon di pinggir pemakaman. Tangan Baso. Itha merasa tersanjung dengan bimbingan tangan Baso. Singa tua itu, selalu siap sedia menjaga dirinya dengan sepenuh cinta.
“Selamat siang” sapa seorang pria separuh baya.