Ingatan ustadz Abdullah kembali pada saat beliau makan nasi di muktamar Jombang beberapa tahun lalu. Jika demikian keadaannya, maka obrolan U1, U2 dan penjual nasi tempo hari itu salah semua.
Tapi, bagaimana pula menjelaskannya, jika tindakan mengangkat “dia” sebagai santri dan penobatannya sebagai sunan itu, adalah tindakan yang benar. Mengapa si “dia” tidak diangkat saja sebagai ketua umumTanfidziyah NU.
Tokh, gelar Sunan yang “dia” sandang, mengindikasikan tingkat keilmuan dan kealimannya diatas para kiyai sepuh sekalipun.
Demikianlah sore itu, Ustad Abdullah berkunjung ke rumah saya, menceritakan semua yang beliau alami seperti diatas. Tujuannya hanya satu, agar saya menuliskannya dan ujung akhir dari tulisan itu, akan menjawab kebingungan sang Ustadz.
Ada yang bisa menjelaskan? Demikian, permohon ustadz Abdullah pada seluruh khalayak, yang membaca tulisan ini.
Catatan:
(*) Seluruh peserta, jika memanggil peserta lainnya, selalu menggunakan panggilan atau sebutan kiyai, seperti halnya seluruh jamaah haji atau umroh, selalu saja dipanggi haj oleh orang Arab di Mekah atau Madinah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H