Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berpikir Logis

12 April 2017   23:57 Diperbarui: 13 April 2017   13:00 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari sumber yang sangat dapat dipercaya, katakan saja beliau Ustad Abdullah.

Pada Muktamar NU di Jombang, sang ustadz, turut sebagai salah satu utusan dari sebuah daerah tingkat 2. Sang Ustadz yang “jenuh” dengan acara yang padat pada muktamar. Mencoba  mengobati jenuhnya  dengan makan nasi disebuah kedai kaki lima. Tanpa disadarinya, ada juga dua utusan lain yang makan disebelah tempat duduk sang ustadz.

Lalu, sang ustadz, tanpa dia sengaja mendengar percakapan sebagai berikut;

Utusan.1 (U1):”sudah ziarah ke makam Gus Dur kiyai?*”

Utusan.2 (U2):”Sudah kiyai, kemarin”

(U1):”Gus Dur memang hebat ya kiyai?”

(U2):”Bener, kelas Gus Dur, sudah sekelas dengan sunan, mungkin dialah sunan ke 10 itu”

“Kiyai berdua salah. Gus Dur adalah sunan kutub. Artinya sunan terakhir, tak ada lagi sunan setelah almarhum Gus Dur”. Begitu sanggahan penjual nasi terhadap ucapan U1 dan U2. Mendengar ucapan sang penjual nasi, kiyau U1 dan U2 bengong, lalu mengangguk, pertanda setuju dengan ucapan sang penjual nasi.

Selesai makan, ustadz Abdullah, lalu membayar apa yang dia makan pada sang penjual nasi dan pulang ke tempat beliau bermalam.

********

Dalam beberapa minggu ini, ustadz Abdullah dilanda kebingungan yang sangat-sangat. Saudara-saudara ustadz Abdullah dalam ormas yang sama dengan beliau, mengangkat seseorang dengan status santri sekaligus menobatkannya sebagai Sunan.

Ingatan ustadz Abdullah kembali pada saat beliau makan nasi di muktamar Jombang beberapa tahun lalu. Jika demikian keadaannya, maka obrolan U1, U2 dan penjual nasi tempo hari itu salah semua.

Tapi, bagaimana pula menjelaskannya, jika tindakan mengangkat “dia” sebagai santri dan penobatannya sebagai sunan itu, adalah tindakan yang benar. Mengapa si “dia” tidak diangkat saja sebagai ketua umumTanfidziyah NU.

Tokh, gelar Sunan yang “dia” sandang, mengindikasikan tingkat  keilmuan dan kealimannya diatas para kiyai sepuh sekalipun.

Demikianlah sore itu, Ustad Abdullah berkunjung ke rumah saya, menceritakan semua yang beliau alami seperti diatas. Tujuannya hanya satu, agar saya menuliskannya dan ujung akhir dari tulisan itu, akan menjawab kebingungan sang Ustadz.

Ada yang bisa menjelaskan? Demikian, permohon ustadz Abdullah pada seluruh khalayak, yang membaca tulisan ini.

Catatan:

(*) Seluruh peserta, jika memanggil peserta lainnya, selalu menggunakan panggilan atau sebutan kiyai, seperti halnya seluruh jamaah haji atau umroh, selalu saja dipanggi haj oleh orang Arab di Mekah atau Madinah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun