Edo menggeliatkan tubuhnya, dia menengadah ke atas, menatap jam dinding, waktu menunjukkan pukul 10.18 WIB. Bersamaan itu ada suara ketukan di pintu ruang kerja Edo, Edo memalingkan wajahnya, terlihat Firman dengan senyum khasnya.
Firman, teman SMA Edo itu, belakangan ini sering mengunjunginya. Firman memasok sayur-sayuran organic ke Dept Store miliknya. Awalnya, Edo hanya ingin mencoba saja. Tapi Firman dapat melakukan kerjasama mereka secara professional. Pasokan barangnya selalu tepat waktu dan dengan kualitas baik. Tak terasa, delapan bulan berlalu, sejak Firman menjadi pemasok untuk Dept Store milik Edo.
“Do, masih ingat Ayu” Tanya Firman, begitu duduk di sebrang meja Edo. Meja Direktur.
“Ayu yang mana Man?” Tanya Edo.
“Ayu yang mana lagi…ya, yang temen kita dulu”
“Masih… kenapa emang?” jawab Edo singkat.
“Tadi saya ketemu dia di depan, dia belanja di Dept Store kamu Do”
“Lalu, apa hubungan dengan aku?” Tanya Edo.
“iya adalah… “ jawab Firman ringkas.
“Kok bisa..?”
“Akh… Do. Kamu memang bener-bener lupa atau masih marah?”
“Maksud kamu Man”
“Kami tadi ketemu di depan. Terus saya ajak dia makan. Ayu cerita banyak tentang dirinya, tentang suaminya. Setelah mertuanya meninggal, Suami Ayu mendapat warisan banyak, lalu lupa semuanya, singkat kata, mereka pisah”
“Terus..”
“Sekarang dia janda Do, dia kembali ke kota ini lagi. Tinggal bersama ibunya..”
“oooo…”
“Dia juga tahu, kalo kamu sekarang sudah kaya raya, tahu kalo Dept store ini punya kamu. Dia ingin bertemu kamu Do, ingin minta maaf. Dia juga ngasi saya kartu nama” kata Firman, panjang lebar, sambil menyorongkan kartu nama Ayu, disana ada private number Ayu, yang bisa Edo hubungi.
*****
Ah… Ayu, mana mungkin kamu Edo lupakan. Kamu yang cinta matiku. Namun, Ayu juga yang pergi meninggalkanku, hanya karena bapakku anak buah Ayahmu di satuan Kepolisian. Ayu yang akhirnya nikah dengan Armand, anak komandan Ayahmu yang seorang pengusaha.
Duduk di ruangan seorang diri dalam ruang kantornya yang full AC, Edo kembali memandang kartu nama Ayu yang diberikan Firman kemarin. Ayu masih belum berubah, cantiknya Ayu, bagi Edo masih seperti dulu. Kinilah saatnya, menebus kekalahan dulu. Edo yang sekarang bukan Edo yang dulu. Edo dapat penuhi semua mau kamu Ayu. Kata hati Edo.
Reflex Edo mengambil ponsel, menekan nomer-nomer yang tertera di kartu nama itu, 0813…….xxx.
MasyaAllah, dimana posisi Yuli pada saat ini, demikian suara sisi hati Edo yang lain. Saat ini, mestinya, pertanyaannya bukan apa yang dapat “aku” nikmati, apa yang dapat “aku” lampiaskan. Tetapi, apa yang dapat “kami” nikmati, apa yang dapat “kami” lampiaskan. Demikian lanjut suara hati Edo.
Perlahan Edo berdiri, lalu melangkah perlahan menuju kotak sampah yang berada di ruangannya, perlahan pula dengan sepenuh yakin, Edo membuang kartu nama Ayu yang kini sudah menjadi kepingan tak berbentuk itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H