Di zaman yang jungkir balik ini, apa yang tidak terbalik. Semuanya terbalik. Apa yang dulu dianggap baik, mungkin saja kini sudah berubah menjadi tidak baik. Paling tidak, terlihat tidak cerdas alias bodoh.
Jika dulu, suami malu jika isterinya memiliki penghasilan lebih besar dari dirinya. Lalu mencari jalan, guna menambah penghasilan tambahan. Paling tidak, berusaha untuk tidak memakai penghasilan dari isterinya. Biarlah penghasilan isteri, digunakan oleh sang isteri atau anak-anak saja.
Begitu juga, suami tidak akan mengizinkan isteri pergi jauh merantau, hanya untuk mencari nafkah. Namun, hal demikian, kini bukan sebuah perbuatan yang tabu lagi. Kepergian jauh isteri, tidak akan membuat suami kehilangan muka, atau merasa malu. Bahkan sebaliknya. Bangga!!!. Apa yang perlu dimalukan, jika lahan pekerjaan untuk suami memang tidak ada. Sedang kesempatan kerja bagi seorang isteri terbuka lebar. Padahal, keberlangsungan kehidupan ekonomi keluarga harus tetap berjalan. Maka, kesimpulan singkatnya. Silahkan pergi. Carilah nafkah, hingga ke Arab sekalipun. Untuk menjaga anak di rumah. Jangan kuatir. Ada suami yang akan menjaga. Memasak dan ngerumpi tentang kondisi sekitar, untuk diceritakan pada isteri, ketika isteri pulang kelak.
Gambaran jelasnya, silahkan tonton sinetron “dunia terbalik”, di salah satu TV swasta nasional. Bagi yang masih memiliki pemikiran waras. Hanya bisa mengurut dada. Kondisi yang benar-benar miris dan memalukan.
Alkisah, seorang sahabat yang selalu menjunjung nilai-nilai positif dalam kehidupannya, tak pernah korupsi, selalu berprasangka baik dan santun dalam bertutur. Baru-baru ini, datang ke rumah. Berbeda dengan kebiasaannya selama ini. Sahabat saya itu dengan menggebu-gebu, mengeluarkan kata-kata protes tentang kondisi kekinian yang carut marut. Meski bahasanya tetap santun, saya melihat ada kemarahan pada pandang matanya.
………………
Bayangkan, jalan Negara yang dibiayai dengan uang Negara milyaran rupiah, hanya berusia 3 bulan, lalu hancur sehancur-hancurnya, berubah menjadi kubangan tempat mandi Kerbau. Begitu bodohkah tenaga insinyur kita?
Negara yang katanya ijo royo-royo, dimana tongkat dan batu menjadi tanaman dan tumbuh subur. Belum lagi, begitu luasnya lahan tidur di Sumatera, Kalimantan. Lalu apa perlunya kita mengimport singkong? Lalu, apa saja kerja tenaga sarjana Pertanian kita yang jumlahnya ribuan itu? Apakah mereka tidak memiliki kemampuan rekayasa tanaman, sehingga kebutuhan singkong kita terpenuhi. Jika ngurus singkong saja mereka tidak mampu, lalu apa gunanya Universitas-universitas yang memiliki fakultas Pertanian itu? Buang-buang waktu dan uang saja. Lebih baik ditutup saja.
Apa susahnya buat cangkul? Bukankah nenek moyang kita jago buat keris? Apakah membuat keris lebih mudah dibanding buat cangkul? Jika membuat cangkul lebih mudah, mengapa cangkul saja kita harus import? Benar-banar bangsa yang tidak memiliki kemampuan apa-apa. Semua harus import.
Kurang panjangkah garis pantai kita? Kurangnya luaskah laut kita? Kurang panaskah suhu udara di Negara kita? Sehingga kita harus import Garam? Benar-benar bangsa yang tidak memiliki malu, garam saja harus import. Demikianlah gerutu sahabat saya, yang selama ini saya kenal santun.
Sebenarnya, semua carut marut itu, adalah kesalahanmu. Komentar saya, atas semua keluhan yang dilontarkan sahabat saya itu.
Kok bisa? Tanya sahabat saya terkejut, sekaligus bingung. Bagaimana mungkin semua carut marut ini, berpangkal pada kesalahannya. Sesuatu yang sangat diluar prediksinya.
Zaman ini sudah zaman edan kawan. Pola pikir yang ente gunakan masih pola pikir zaman normal. Apa yang dulu benar, sekarang dipertanyakan kebenarannya. Cobalah bergeser sedikit pola pikirnya, berubah dari aliran meanstream bergeser sedikit kearah kekinian. Apa yang ente bahas tadi, semuanya berkaitan dengan masalah tekhnis. Dan masalah tekhnis adalah masalah para pelaksana di lapangan. Sedangkan bagi mereka para pembuat kebijakan, masalahnya bukan hanya masalah tekhnis. Termasuk juga, masalah-masalah non tekhnis.
Masalah jalan yang hanya berumur tiga bulan, masalahnya bukan karena insinyurnya bodoh. Tetapi, karena masalah non tekhnis. Anggaran untuk jalan itu, dari hulunya sudah mengalami potongan. Apapun itu namanya. Entah gravitasi atau korupsi. Lalu, potongan-potongan itu terus berlanjut hingga ke hilir, sampai pada tahap pelaksanaan di lapangan. Sang pelaksana dilapangan, tentunya tidak ingin mengalami kerugian, akhirnya jalan termudah untuk mengeruk keuntungan, dengan mengurangi kualitas bahan terpasang. Akibatnya, seperti yang kita lihat. Konstruksi yang direncanakan, paling cepat dua tahun baru diperbaiki, ternyata dalam waktu tiga bulan, sudah berubah jadi kubangan yang layak ditanami pohon pisang atau ternak ikan Lele. Demikian juga yang terjadi pada singkong, Pacul, Garam dan banyak lainnya. Ada permainan uang yang nominalnya tidak sedikit di dalamnya.
Lalu, apa hubungannya dengan kesalahan saya tentang carut marut itu?.
Hubungannya, karena ente mencoba masuk kedalam persoalan yang bukan persoalanmu. Jikapun harus masuk, maka jangan gunakan logika berpikir diri sendiri. Melainkan, gunakan logika mereka, mereka yang logikanya terkontaminasi dengan logika terbalik. Sehingga, ketika kita gunakan logika mereka, akan ada perbedaan kesimpulan. Mereka akan terlihat cerdas, atau paling tidak terlihat sedikit lebih pintar. Sehingga kita dapat lebih ringan melihatnya, paling tidak, dapat memaklumi fenomenanya.
Namun, saran saya…. Berhentilah mengkritisi mereka. Apalagi, jika mengkritisi mereka dengan menggunakan logika mereka yang terkontaminasi itu. Karena, tanpa disadari, itu artinya, sudah bertambah seorang lagi, yang “tidak waras”. Anda mau…???
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI