Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dengan Korupsi Terlihat Lebih Cerdas

11 Februari 2017   10:04 Diperbarui: 11 Februari 2017   10:21 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang 100 ribu, alat pembayaran yang sah (dok.Pribadi)

Kok bisa? Tanya sahabat saya terkejut, sekaligus bingung. Bagaimana mungkin semua carut marut ini, berpangkal pada kesalahannya. Sesuatu yang sangat diluar prediksinya.

Zaman ini sudah zaman edan kawan. Pola pikir yang ente gunakan masih pola pikir zaman normal. Apa yang dulu benar, sekarang dipertanyakan kebenarannya. Cobalah bergeser sedikit pola pikirnya, berubah dari aliran meanstream bergeser sedikit kearah kekinian. Apa yang ente bahas tadi, semuanya berkaitan dengan masalah tekhnis. Dan masalah tekhnis adalah masalah para pelaksana di lapangan. Sedangkan bagi mereka para pembuat kebijakan, masalahnya bukan hanya masalah tekhnis. Termasuk juga, masalah-masalah non tekhnis.

Masalah jalan yang hanya berumur tiga bulan, masalahnya bukan karena insinyurnya bodoh. Tetapi, karena masalah non tekhnis. Anggaran untuk jalan itu, dari hulunya sudah mengalami potongan. Apapun itu namanya. Entah gravitasi atau korupsi. Lalu, potongan-potongan itu  terus berlanjut hingga ke hilir, sampai pada tahap pelaksanaan di lapangan. Sang pelaksana dilapangan, tentunya tidak ingin mengalami kerugian, akhirnya jalan termudah untuk mengeruk keuntungan, dengan mengurangi kualitas bahan terpasang. Akibatnya, seperti yang kita lihat. Konstruksi yang direncanakan, paling cepat dua tahun baru diperbaiki, ternyata dalam waktu tiga bulan, sudah berubah jadi kubangan yang layak ditanami pohon pisang atau ternak ikan Lele. Demikian juga yang terjadi pada singkong, Pacul, Garam dan banyak lainnya. Ada permainan uang yang nominalnya tidak sedikit di dalamnya.

Lalu, apa hubungannya dengan kesalahan saya tentang carut marut itu?.

Hubungannya, karena ente mencoba masuk kedalam persoalan yang bukan persoalanmu. Jikapun harus masuk, maka jangan gunakan logika berpikir diri sendiri. Melainkan, gunakan logika mereka, mereka yang logikanya terkontaminasi dengan logika terbalik. Sehingga, ketika kita gunakan logika mereka, akan  ada perbedaan kesimpulan. Mereka akan terlihat cerdas, atau paling tidak terlihat sedikit lebih pintar. Sehingga kita dapat lebih ringan  melihatnya, paling tidak, dapat memaklumi fenomenanya.  

Namun, saran saya…. Berhentilah mengkritisi mereka. Apalagi, jika mengkritisi mereka dengan menggunakan logika mereka yang terkontaminasi itu. Karena, tanpa disadari, itu artinya, sudah bertambah seorang lagi, yang “tidak waras”.  Anda mau…???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun