Kisah Max Havelaar seakan abadi, jika dihubungkan dengan konteks kekinian. Lebak yang merupakan tempat kejadian cerita Max Havelaar, yang dari kejadian di Lebak, kaum pribumi menerima berkahnya berupa tampilan politik etis, politik yang lebih lunak dengan diberinya kesempatan para bumi putera memperoleh pendidikan. Dipercaya juga, bahwa turunan dari kebijakan politik Etis, melahirkan cikal bakal kesadaran akan harga diri sebuah bangsa. Dengan mengenyam pendidikan pula, mereka yang disebut kaum terpelajar itu, akhirnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Namun, apa yang kini dialami Lebak? Daerah yang jauhnya hanya sepelemparan batu saja dari Ibukota NKRI itu, masih masuk pada daerah kabupaten tertinggal di Indonesia. Sungguh Ironis. Itulah kondisi terkini, dari daerah yang dengan kondisinya pada zaman dulu, menginspirasi terbitnya buku Max Havelaar, nan dengan kehadiran Max Havelaar  melahirkan politis, lalu dengan akibat turunannya Indonesia Merdeka. Namun, daerah yang menginspirasi itu sendiri, kondisinya dapat dikatakan belum berubah, sebagaimana halnya terjadi ketika Max Havelaar masih ditulis.Â
Itulah Max Havelaar, buku yang ditulis oleh Multatuli atau Eduard Douwes Dekker (1820-1887) sebagai wujud dari pemberontakan jiwanya, atas apa yang dilihatnya selama 18 tahun dalam kariernya sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda. Multatuli kemudian mengasingkan diri ke Wiesbaden Jerman dan meninggal pada Februari 1887.
Judul              : MAX HAVELAAR
Penulis            : Multatuli
Tanggal Terbit      : September 2016. 1860 (Asli)
 Penerbit           : Qanita. Jakarta.
Tebal Halaman     : 474 hlmn
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H