Buku Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli, nama pena dari Eduard Doues Dekker, mantan Assisten Lebak pada Abad 19, menceritakan tentang seorang yang terlihat kumuh memakai syal, seterusnya disebut dengan sjaalman. Sjaalman bertemu dengan seorang makelar kopi kaya di Amsterdam bernama Batavus Droogstoppel. Sesungguhnya, sjaalman yang terlihat kumuh, dan baru dating dari “negri timur” bukanlah orang yang benar-benar asing bagi Batavus Droogstoppel. Dia adalah teman lama, semasa kecil yang dulu pernah menanamkan “budi” pada Batavus Droogstoppel.
Menemukan tulisan Sjaalman yang berbicara banyak tentang kopi, Batavus Droogstoppel bersedia untuk mempublikasikan tulisan-tulisan Sjaalman, dengan perhitungan bahwa pembahasan tentang kopi, tentu akan memberikan keuntungan yang tidak kecil bagi usaha yang sedang dijalankan.
Namun, dalam perkembangannya selanjutnya, dalam tumpukan artikel-artikel yang membahas tentang kopi, Batavus Droogstoppel menemukan cerita tentang “kekejaman”.
Kekejaman yang diakibatkan oleh penerapan system tanam paksa yang dilakukan oleh colonial belanda di tanah jajahannya. System tanam paksa yang akhirnya menyebabkan ribuan penduduk pribumi dijerat kemiskinan, kelaparan dan menderita.
Cerita tentang kemiskinan, kelaparan dan penderitaan kaum pribumi di Max Havelaar, menyebabkan kegaduhan dan mengguncang hebat sendi-sendi Pemerintahan Hindia Belanda. Akibatnya, untuk menebus kesalahan itu, Belanda menerapkan Politik Etis. Politik Balas Budi. Dengan cara memperbolehkan kaum pribumi untuk memperoleh pendidikan. Yang awalnya, Belanda melakukan itu, dengan dua tujuan, tujuan yang nampak diluar adalah seolah-olah menembus kesalahan atas Politik Tanam Paksa yang dilakukan. Namun, dibalik itu, tujuan tersembunyinya, untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga administrasi tingkat rendah. yang idealnya tidak perlu dilakukan oleh “orang Belanda”. Namun, cukup dilakukan oleh tenaga pribumi yang telah “disekolahkan”.
Tapi, sekali roda itu berputar, dia tak dapat lagi dihentikan. Dari tenaga-tenaga terdidik rendahan inilah, kelak lahir kelas golongan terpelajar, yang keturunan mereka memiliki jenjang pendidikan lebih baik dan memiliki kesadaran akan keberadaan mereka, sehingga melahirkan kesadaran akan kemerdekaan.
Semua fenomena itu, terjadi, ghalibnya karena pengaruh kehadiran Max Havelaar yang menyentuh “rasa” pembacanya sejak diterbitkan pada tahun 1860.
Sebagai sebuah buku novel, cerita yang dirajut oleh Multatuli sungguh menarik. Namun, apa yang diceritakan oleh Multatuli diakui sebagai sebuah fakta yang benar-benar terjadi. Untuk itu Multatuli bahkan berani menantang Pemerintah colonial Belanda untuk membuktikan kekeliruan atas data-data yang dibeberkannya dalam Max Havelaar.
Di Kongres Internasional untuk pengembangan Ilmu Pengetahuan Sosial di Amsterdam pada 1863, Multatuli menantang saudara-saudara sebangsanya untuk membuktikan kesalahannya.
Dan hingga kini, tantangan yang dilontarkan Multatuli, tak pernah diterima oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk diberikan pembuktian.
Mr. Veth orientalis terkenal di Leyden yang secara khusus mempelajari masalah-masalah Hindia, menyatakan bahwa Multatuli memperhalus kebenaran. Dia mengatakan bahwa banyak penulis, misalnya Mr. Vitalis dan lain-lain, telah menerbitkan laporan peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta yang jauh lebih mengejutkan daripada yang digambarkan oleh Multatuli. Mr. Veth memuji kemoderatan Multatuli, dan mengatakan, bahwa lelaki itu (Multatuli) telah menunjukkan kemahiran dengan tidak melebih-lebihkan kisahnya.