Hari Jum’at kemarin, terjadi demo besar-besaran di Ibu Kota, peristiwa yang sama, juga terjadi di Bandung dan Palembang. Penyebabnya jelas, Ahok diduga “melecehkan” Agama Islam. Terkait dengan ucapan Ahok di Pulau Seribu, tentang surat Al Ma’idah ayat 51. Akibatnya, umat Islam berdemo, menuntut marwah, karena agama Islam dilecehkan. Salahkah? Tentu tidak salah. Hal yang serupa, juga akan timbul reaksi yang sama pada pemeluk agama lain. Jika, agama mereka dilecehkan.
Pertanyaannya, apa selanjutnya setelah demo berlangsung?
Sebagai orang awam dalam masalah politik. Saya tidak ingin membahasnya dalam teori politik. Melainkan dari sisi lain. Sisi yang saya paham, yakni filosofi tekhnik bangunan.
Pola pikirnya demikian. Dalam ilmu bangunan ada yang disebut beton. Semua unsur material yang mendukung terbentuknya beton itu, adalah benda keras, memiliki sifat dasar keras dan hasil yang dihasilkannya, Beton. Sesuatu yang Keras.
Kerasnya beton, adalah sifat yang dibutuhkan dalam menopang beban bangunan yang tak ringan. Makin tinggi dan berat bangunan, maka tingkat kekerasan beton yang digunakan semakin keras.
Ketika beban semakin berat dan beton yang disyaratkan semakin keras, maka akan tiba saatnya kekerasan beton maksimal, sehingga tidak mungkin untuk ditambah lagi kekerasannya. Untuk itu, diperlukan material tambahan yang juga keras. Material itu bernama Besi. Maka, jadilah beton yang dihasilkan bernama beton bertulang.
Beban yang semakin berat, mensyaratkan besi yang digunakan juga semakin keras. Tingkat kekerasan besi disebut dengan U. factor penentunya, adalah jumlah kadar karbon yang dikandung besi. Semakin banyak jumlah kandungan Karbon dalam besi, maka besi akan akan semakin keras.
Namun, penambahan karbon, bukan tanpa kelemahan, semakin banyak karbon, akan membuat besi semakin getas, atau mudah patah. Itu artinya, penambahan karbon pada memiliki angka maksimal. Diatas angka maksimal besi akan sangat mudah patah.
Apa artinya semua filosofi bangunan diatas?
Untuk menahan beban yang berat, dibutuhkan material yang keras. Untuk mengurus Negara ini dibutuhkan pribadi-pribadi yang keras –baca tangguh-.
Namun, kekerasan setiap elemennya, memiliki batas dan porsi yang tepat. Jika, jumlah pasir yang dominan dalam beton, maka beton yang dihasilkan tidak menjadikan keras, melainkan malah menjadi lunak. Demikian juga yang terjadi jika jumlah split atau koral jumlahnya dominan. Bagaimana dengan Semen? Semen akan menjadikan kontruksi mahal. Tak efektif dan sulit dilakukan perubahan jika terjadi kesalahan.
Jika beban pemerintah sudah demikian berat, dibutuhkan besi. Dalam hal ini, bisa saja pribadi-pribadi di luar Pemerintahan, ormas atau lembaga-lembaga nirlaba. Namun, kehadiran “Besi”. Juga, memiliki keterbatasan. Harus tidak melebihi batas maksimal yang diizinkan. Jika tidak, hanya akan membawa kehancuran pada konstruksi Pemerintahan.
Kesimpulannya, buatlah harmoni dalam Pemerintahan DKI. Masing-masing memiliki fungsi dan manfaat yang terukur dalam komposisi dan struktur Pemerintahan DKI. Jangan ada yang dominan. Keluar dari komposisi yang harmoni hanya akan menghasilkan kondisi disharmoni dan berakibat kelemahan.
Contoh disharmoni dapat digambarkan, bagaimana Ahok dengan pakaian Dinas dan perjalanan Dinas, bukan menyampaikan program DKI untuk masa yang akan datang, serta menyampaian target apa yang mesti diraih oleh Pemda DKI. Tetapi, malah menyampaikan persoalan “memilih atau tidak memilih”. Padahal masa kempanye belum dimulai. Persoalannya, semakin runyam ketika besi dalam konstruksi bangunan yang mestinya memberikan tambahan kekuatan. Terdiri dari besi yang kebanyakan memiliki kandungan “karbon”. Akibatnya, salah-salah penanganan. Konstruksi akan roboh. Kejadian yang semua kita, tidak menginginkannya.
Marilah, kita semua mau menjadi cerdas. Pelajaran kemarin merupakan sesuatu yang mahal. Sudah saatnya menciptakan harmoni, hindarkan kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu. Baik oleh mereka yang berada di Pemerintahan DKI apapun fungsi dan jabatannya dalam Pemerintahan DKI, maupun masyarakat DKI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H