Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Blasius Woda, Bapak dan Pelindung Pantai Koka

16 September 2016   11:14 Diperbarui: 17 September 2016   12:09 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di Kejauhan, Nampak Sidone mandi sendirian, ditengah Pantai Koka Yang lengang (dok.Pribadi)

Sore itu, saya memarkir motor agak sedikit menjorok ke laut. Belum sempat saya berjalan jauh meninggalkan motor yang terparkir, tiba-tiba, seorang anak berusia belasan tahun mengejar saya, mengingatkan, bahwa saya telah salah tempat memarkir kendaraan. Teguran halus tersebut membuat saya malu. Hingga, dengan malu yang menyertainya, saya merasa perlu memperbaiki kesalahan, sehingga saya memindahkan parkir motor sesuai arahan anak ABG tadi.

Selesai dengan urusan parkir, saya segera bergerak mengabadikan view Pantai Koka sore itu, pemandangan yang sayang untuk dilewatkan begitu saja tanpa diabadikan. Hingga ketika penat menyergap tubuh, saya segera beristirahat dengan memesan kopi pada satu-satunya warung yang buka di sana.

Ternyata, yang menghidangkan kopi adalah anak usia belasan yang menegur saya tadi. Setelah saya bertanya, siapa namanya, dengan singkat saya tahu namanya: Adrianus.

Pantai Koka adalah Pantai yang terletak di Desa Wolowiro, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka, Flores, NTT. Dari Kota Maumere berjarak sekitar 48 Km. Pantai yang terletak 2,5 Km dari tepi jalan raya Ende-Maumere ini benar-benar lengang. Tak ada penginapan di sini, jauh dari rumah penduduk. Pantai yang masih perawan, seakan pantai privat, tak begitu luas. Pantai ini diapit dua bukit pada sisi barat dan dua batuan terjal pada sisi selatan.

Sekitar seratusan meter di tengah laut, ada sebuah pulau karang kecil, di antara pulau karang kecil dan pantai. Di situlah biasanya wisatawan asing berenang. Pulau karang kecil itu bernama Pulau Koka. Di sana, konon bersemayam ular-ular laut yang tak berbisa.

Tengah saya ngopi, masuk lelaki setengah baya. Menyapa dengan hangat pada saya, khas kehangatan Flores. Lelaki yang kemudian saya tahu bernama Blasius Woda atau biasa dikenal dengan Om Blasius atau Blasius saja. Blasius adalah pemilik satu-satunya warung yang berada di Pantai Koka. Sebenarnya, bukan warung, lebih tepatnya gubuk di tepi Pantai Koka.

Blasius Woda, sang Penjaga Pantai Koka Di Dalam Warungnya (dok.Pribadi)
Blasius Woda, sang Penjaga Pantai Koka Di Dalam Warungnya (dok.Pribadi)
Kami cerita banyak. Persisnya lelaki setengah baya itu menceritakan siapa dirinya. Setelah lelah merantau ke Sumatera, ke Malaysia, dan Jawa. Akhirnya, dia memutuskan untuk pulang kampung. Tetapi, pertanyaannya, apa yang bisa dia dilakukan guna menghidupi keluarga barunya? Blasius merasa di tempat sepi ini, tidak ada orang yang akan memakai keahliannya. Akhirnya, diputuskan oleh Blasius untuk berjualan panganan kecil untuk para wisatawan yang melancong ke Pantai Koka.

Masalah berikutnya, harus tinggal di mana. Jarak dari jalan raya sekitar 2,5 Km. Akses jalan sangat buruk, Blasius tak memiliki kendaraan roda dua. Maka, keputusannya, dia harus tinggal di Pantai Koka, dengan kondisi seadanya. Blasius membuat pondasi gubuknya dengan mengumpulkan batuan yang terdapat di pantai dan mendirikan gubuk dengan dahan-dahan kayu yang ada, serta atap daun kelapa.

Belum dua hari Blasius memboyong istri dan Adrianus yang ketika itu masih bayi merah. Malam itu, hujan lebat turun. Air Pantai Koka naik hingga memasuki gubuk Blasius yang baru dua hari dihuni. Lengkap sudah, air hujan membasahi gubuk yang tak beratap rapat dan dari bawah air laut memasuki gubuk Blasius. Malam itu, Blasius tak memejamkan mata sedikitpun, berusaha keras menyelamatkan istri anak semata wayang yang masih dalam kondisi bayi merah.

Cobaan belum habis hingga di situ. Masyarakat menganggap Blasius orang 'gila' yang mau bertempat tinggal di pantai kosong seorang diri. Jikapun ada wisatawan, jumlahnya tak pasti dan sangat jarang.

Pelan tapi pasti, wisatawan mulai berdatangan. Anehnya, wisatawan yang datang, dominan wisatawan asing. Kaum bule kadang menginap di gubuk Blasius.

Percayakah saya dengan cerita Blasius? Tak semudah itu saya percaya, saya memerlukan bukti untuk mempercayai ceritanya.

Tengah Blasius bercerita, hari telah sore. Untuk menuju Ende atau menginap di Moni, daerah terdekat dari Pantai Koka  rasanya sangat riskan, mengingat jalanan yang cukup terjal serta asingnya daerah membuat saya berpikir ulang untuk ke Ende atau Moni. Pada Blasius saya katakan jika saya ingin menginap. Blasius menjawab bahwa tidak tersedia kamar untuk saya menginap, karena kamar yang ada sudah dipesan oleh turis bule dari Perancis.  Saya menjawab, saya tak perlu kamar, hanya cukup merebahkan diri hingga pagi hari untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke arah barat hingga berakhir di ujung Jawa Barat. Rumah.

Blasius Woda dan Putra Sulungnya, Adrianus Betebiru (dok.Pribadi)
Blasius Woda dan Putra Sulungnya, Adrianus Betebiru (dok.Pribadi)
Bermalam di Pantai
Baru saja sepuluh menit lalu, Blasius menghidupkan generator yang akan dipakai sebagai penerang di warungnya di Pantai Koka. Jam enam kurang sepuluh ketika itu, masuk cewek bule ke warung Blasius. Sangat muda, kelak saya tahu umurnya baru 26 tahun. Blasius segera berdiri dari hadapan saya. Dia segera ke belakang untuk menimbakan air tawar pada sumur yang terletak di belakang warung guna dipakai sang bule mandi. Sementara istri Blasius saya rasa sedang memasak di dapur. Saya lihat juga Adrianus mempersiapkan  lampu minyak tanah sebagai penerang di 'kamar mandi' di depan sumur Blasius. Sementara saya hanya duduk di bangku, memperhatikan bagaimana antusiasnya  Blasius dan keluarganya melayani tamu bule itu seperti keluarga sendiri, di tengah kesederhanaan.

Selesai acara mandi, si Bule, sang tamu bule, segera gabung bersama kami, duduk di tengah warung Blasius. Duduk di tengah ruang berdinding daun kelapa dan atap daun kelapa. Saya memperkenalkan diri, demikian juga sang tamu, dia bernama Sidone, berasal dari Perancis dan berprofesi sebagai perawat di negaranya.

Ketika jam tujuh dua puluh, Blasius menghidangkan makan malam khas Flores. Ikan Bakar, nasi putih, sop ikan kuah dan buah. Saya terkesan, bagaimana profesionalnya keluarga Blasius menjamu tamu bulenya.

Nampak, Sinode begitu menikmati santap malamnya. Pelan tapi pasti, akhirnya, seluruh yang tersaji tuntas habis malam itu. Selesaikah acaranya? Ternyata tidak, pada detik-detik terakhir santapan, kembali Blasius membuat kejutan. Beliau menghidangkan moke (minuman khas Flores), yang merupakan hasil fermentasi dari buah pohon aren dengan gelas kecil. Blasius menuangkan terlebih dahulu pada gelas kecil itu sedikit minuman, lalu, menuangkannya pada lantai di ruangan itu. Dimaksudkan sebagai persembahan untuk nenek moyang yang menurut Blasius turut hadir bersama kami. Lalu tuangan kedua direguk oleh Blasius dan tuangan ketiga dipersembahkan pada Sinode.

Blasius Woda, Selvina Funan sang Isteri yang setia membantu suami serta Adrianus Betebiru Putra Sulung. (dok.Pribadi)
Blasius Woda, Selvina Funan sang Isteri yang setia membantu suami serta Adrianus Betebiru Putra Sulung. (dok.Pribadi)
Pada setiap kali akan mereguk, mereka selalu mengucapkan salute. Irama yang membuat keakraban antara tamu Sinode dan Blasius.

Belum selesai acara minum penutup makan malam. Kembali Blasius membawa kartu remi. Jadilah kami bermain remi malam itu. Hingga akhirnya, ketika waktu menunjukkan pukul sebelas  malam. Blasius mematikan genset dan Sinode masuk ke kamarnya dengan lampu cempor di tangannya untuk beristirahat.

Tinggal saya dengan Blasius ditemani lampu cempor. Di luar warung ada bulan yang tinggal separuh. Kembali Blasius bercerita.

“Begitulah saya melayani tamu-tamu saya, Bang,” kata Blasius. Warung itu perlahan-lahan tumbuh besar, beberapa turis dari mancanegara sering tidur di warungnya yang sederhana itu. Bukan fasilitas agaknya yang membuat bule betah, selain alam yang privat, juga pribadi Blasius yang hangat membuat turis asing betah tinggal di gubuknya.

Seperti abang lihat, di pojok ruangan itu, ada dua buah water torn. Itu adalah pemberian turis Jerman. Dia ingin, ketika kembali lagi kesini, water torn itu sudah terpasang. Demikian kata Blasius.

Soal Sinode sendiri, saya langsung mendengar, bagaimana dia dari Kupang naik kapal laut  ke Ende, dari Ende langsung diantar ojek ke Pantai Koka. Semua dilakukan Sinode, karena mendapat info dari  temannya di Belanda. Tentang keindahan Pantai Koka di Flores, tentang kehangatan pribadi Blasius.

Saya merawat pantai ini seperti saya merawat keluarga sendiri, Bang. Bukan hanya, soal melayani tamu-tamu bule. Tapi juga soal kebersihan, soal kenyamanan para tamu dan kesakralan tempat-tempat yang harus dihormati.

Posisi Motor saya yang salah parkir, sebagai pemicu dimulainya kisah ini (dok.Pribadi)
Posisi Motor saya yang salah parkir, sebagai pemicu dimulainya kisah ini (dok.Pribadi)
Blasius Woda sebagai kepala rumah tangga, bukan saja telah memperlihatkan tanggung jawab dan kasih sayangnya pada istrinya, Selvina Funan. Anak-anaknya Adrianus Betebiru, Bertemelius Betebiru dan Maria Rosero Oteru. Tetapi juga pada lingkungan dimana dia tinggal, Pantai Koka.   

Tepat jam satu malam itu, saya merebahkan diri. Besoknya ketika jam lima saya terbangun, Pantai Koka begitu mempesonakan saya. Refleks saya membuka baju dan berendam di air Pantai Koka yang jernih.

Bersamaan dengan kepergian Blasius mengantarkan Adrianus ke sekolah pagi itu, sayapun meninggalkan Pantai Koka. Meninggalkan pahlawan yang tak banyak diketahui orang, tetapi telah ikut menjaga kelestarian Pantai Koka.

Plank Nama Pantai Koka, sebelum masuk areal Pantai Koka (dok.Pribadi)
Plank Nama Pantai Koka, sebelum masuk areal Pantai Koka (dok.Pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun