Percayakah saya dengan cerita Blasius? Tak semudah itu saya percaya, saya memerlukan bukti untuk mempercayai ceritanya.
Tengah Blasius bercerita, hari telah sore. Untuk menuju Ende atau menginap di Moni, daerah terdekat dari Pantai Koka rasanya sangat riskan, mengingat jalanan yang cukup terjal serta asingnya daerah membuat saya berpikir ulang untuk ke Ende atau Moni. Pada Blasius saya katakan jika saya ingin menginap. Blasius menjawab bahwa tidak tersedia kamar untuk saya menginap, karena kamar yang ada sudah dipesan oleh turis bule dari Perancis. Saya menjawab, saya tak perlu kamar, hanya cukup merebahkan diri hingga pagi hari untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke arah barat hingga berakhir di ujung Jawa Barat. Rumah.
Baru saja sepuluh menit lalu, Blasius menghidupkan generator yang akan dipakai sebagai penerang di warungnya di Pantai Koka. Jam enam kurang sepuluh ketika itu, masuk cewek bule ke warung Blasius. Sangat muda, kelak saya tahu umurnya baru 26 tahun. Blasius segera berdiri dari hadapan saya. Dia segera ke belakang untuk menimbakan air tawar pada sumur yang terletak di belakang warung guna dipakai sang bule mandi. Sementara istri Blasius saya rasa sedang memasak di dapur. Saya lihat juga Adrianus mempersiapkan lampu minyak tanah sebagai penerang di 'kamar mandi' di depan sumur Blasius. Sementara saya hanya duduk di bangku, memperhatikan bagaimana antusiasnya Blasius dan keluarganya melayani tamu bule itu seperti keluarga sendiri, di tengah kesederhanaan.
Selesai acara mandi, si Bule, sang tamu bule, segera gabung bersama kami, duduk di tengah warung Blasius. Duduk di tengah ruang berdinding daun kelapa dan atap daun kelapa. Saya memperkenalkan diri, demikian juga sang tamu, dia bernama Sidone, berasal dari Perancis dan berprofesi sebagai perawat di negaranya.
Ketika jam tujuh dua puluh, Blasius menghidangkan makan malam khas Flores. Ikan Bakar, nasi putih, sop ikan kuah dan buah. Saya terkesan, bagaimana profesionalnya keluarga Blasius menjamu tamu bulenya.
Nampak, Sinode begitu menikmati santap malamnya. Pelan tapi pasti, akhirnya, seluruh yang tersaji tuntas habis malam itu. Selesaikah acaranya? Ternyata tidak, pada detik-detik terakhir santapan, kembali Blasius membuat kejutan. Beliau menghidangkan moke (minuman khas Flores), yang merupakan hasil fermentasi dari buah pohon aren dengan gelas kecil. Blasius menuangkan terlebih dahulu pada gelas kecil itu sedikit minuman, lalu, menuangkannya pada lantai di ruangan itu. Dimaksudkan sebagai persembahan untuk nenek moyang yang menurut Blasius turut hadir bersama kami. Lalu tuangan kedua direguk oleh Blasius dan tuangan ketiga dipersembahkan pada Sinode.
Belum selesai acara minum penutup makan malam. Kembali Blasius membawa kartu remi. Jadilah kami bermain remi malam itu. Hingga akhirnya, ketika waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Blasius mematikan genset dan Sinode masuk ke kamarnya dengan lampu cempor di tangannya untuk beristirahat.
Tinggal saya dengan Blasius ditemani lampu cempor. Di luar warung ada bulan yang tinggal separuh. Kembali Blasius bercerita.
“Begitulah saya melayani tamu-tamu saya, Bang,” kata Blasius. Warung itu perlahan-lahan tumbuh besar, beberapa turis dari mancanegara sering tidur di warungnya yang sederhana itu. Bukan fasilitas agaknya yang membuat bule betah, selain alam yang privat, juga pribadi Blasius yang hangat membuat turis asing betah tinggal di gubuknya.
Seperti abang lihat, di pojok ruangan itu, ada dua buah water torn. Itu adalah pemberian turis Jerman. Dia ingin, ketika kembali lagi kesini, water torn itu sudah terpasang. Demikian kata Blasius.