Jika saja saya tak mengunjungi kota Bajawa, tentu saja anggapan bahwa Flores daerah yang panas dan gersang, akan saya sepakati. Namun anggapan demikian, seakan sirna ketika minggu diakhir Juli 2016 saya mengunjungi Bajawa.
Awalnya, sejak dari Mbay, ibu kota kabupaten Nagekeo, yang merupakan Kabupaten pecahan dari Kabupaten Ngada, yang Ibu Kotanya Bajawa, udara terasa demikian panas dan kering, hingga saya tiba di Mataloko.
Udaranya menjadi sejuk, hingga tidak salah jika di Mataloko ada sekolah Seminari, sekolah yang dipercaya sebagai sekolah Seminari kedua di tanah air setelah sekolah sekolah Seminari Mertoyudan, Yogyakarta sebagai sekolah Seminari pertama di Indonesia.
Tak memerlukan waktu lama, sekitar sepuluh menit melewati Mataloko, sang adik meminta saya melongok ke arah kanan jalan, dan benar. Di Bawah sana, terletak sebuah kota, kota Bajawa. Tidak membuang waktu, saya segera meng”abadi”kan view Bajawa yang sedang terbentang dihadapan saya, saat itu.
Benar, ternyata lima menit kemudian, saya menyaksikan sendiri Mesjid dan Gereja salin berhadap-hadapan, hanya dipasahkan jalan yang lebarnya kurang dari enam meter. Sebuah pemandangan yang langka, mengisyaratkan sebuah pesan bisu, bagaimana rukunnya antar umat beragama di kota Bajawa.
Sedangkan sebagai ibu kota Daerah tingkat dua Ngada, didasarkan pada Undang-undang nomer 69 Tahun 1958, tentang Pembentukan Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat II Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tanggal 12 Juli 1958. Peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 1958.
Sepenglihatan saya, di sebelah Utara Pusat kota, sedang dibangun Kantor DPRD yang cukup refresentatif, Posisi Kantor DPRD itu, tepat di seberang kantor Bupati Ngada Jl.Soekarno-Hatta no.1. Di sebelah kantor DPRD, juga ada kantor Pos yang cukup baik kondisinya.
Di selatan pusat kota, berada lokasi kota yang dibangun Belanda. Di sana ada, alun-alun dengan view yang sungguh cantik. Pada Sisi barat alun-alun, ada gereja khatolik Mater Boni Concilii, sedang sisi selatan ada Kapolres, yang dulu dilokasi yang sama pernah berdiri bangunan pemerintahan colonial belanda.
Siang itu, kebetelan hari minggu, saya berkesempatan melihat kaum ibu yang pulang dari Misa di gereja khatolik Mater Boni Concilii. Banyak diantara ibu-ibu, masih menggunakan kain tenun khas Ngada, Flores. Bentuknya seperti kaun sarung dengan corak tenun khas Ngada. Perpaduan antara gaya modern dengan busana yang masih kental dengan tradisi local Ngada, Flores.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H