Makin lama, kerumunan manusia di simpang tiga menjelang pasar pagi itu semakin ramai. Entah darimana mereka datang? Antusias manusia untuk melihat, sangat kental terasa. Berbondong-bondong, bergelombang-gelombang yang semakin lama semakin besar. Begitulah kerumunan itu, makin membesar dan membesar. Dalam sekejap saja sudah terkumpul banyak orang.
Mereka mengerumuni sesosok manusia yang tergeletak lemah. Tak berdaya, memelas dan tubuh itu, meringkuk terkulai. Darah masih tampak segar masih menetas di pelipis matanya, pada sisi wajah yang lain, tampak lebam kebiru-biruan. Baju biru kotak-kotak abu-abu kemerahan yang dipakainya sudah tak jelas lagi warnanya. Mungkin saja, karena tubuh itu sudah diseret oleh sekelompok orang sebelumnya.
Entah siapa yang memulai, lalu, ada teriakan..
Bakar..
Bakar..
Bakar!!!!
Teriakan yang semakin lama, semakin membahana. Diikuti hampir semua mereka yang ada disekeliling kerumunan.
Terlihat seorang anak muda menyeruak masuk ke dalam kerumunan, menenteng botol plastik. Dari tampilan botol plastik yang bening transparan, jelas isinya bensin. Prosesi pembakaran pada manusia yang meringkuk dan masih bernapas ditepi jalan, pada pertigaan menjelang pasar pagi itu, agaknya akan segera dimulai.
Beberapa orang yang tadinya berdiri dalam kerumunan, ada yang meninggalkan kerumunan, kepalanya menggeleng-geleng, mungkin saja, dia berpikir, itu pekerjaan gila, membakar pencoleng yang masih hidup. Kalaupun sang pencoleng itu salah, apakah patut dibakar? Sudahkah seimbang antara kesalahan yang diperbuatnya sebanding dengan hukuman yang akan dia terima?
Koruptor yang menghabiskan milyaran uang Negara, yang nota bene uang rakyat, jangankan dipukuli, dibentak saja mungkin tidak. Bahkan ketika mereka ditahan, tahanan mereka ruangan ber-AC. Bebas dikunjungi keluarga, masih bisa keluyuran ke luar tahanan. Ada yang menikah sirri, bahkan isteri-isteri mereka masih sempet hamil. Lalu, apakah sosok yang tergeletak itu, lebih jahat dari koruptor hingga harus dibakar.
Tiba-tiba, masuk ke dalam kerumunan, seorang yang bertubuh besar, berwajah teduh namun garis-garis wajahnya yang keras jelas terlihat, memakai kopiah Haji. Beberapa dari mereka yang sedang berkerumun, memberi jalan pada sosok yang baru datang itu. Mereka mengenali siapa yang baru datang itu. Haji Murad.
Siapa yang tak kenal Haji Murad. Tokoh yang terkenal tegas, berwibawa, penolong pada masyarakat lemah, berani membela kebenaran. Tokoh yang jika bicara tanpa tedeng aling-aling. Beberapa mereka yang tak mengenal dekat Haji Murad akan memiliki kesan bahwa tokoh ini kasar. Tetapi, mereka yang mengenalnya, itulah Haji Murad dengan segala keterus-terangannya.
“Berhenti… Berhenti…” suara lantang Haji Murad jelas terdengar oleh mereka yang berkerumun.
“Apa-apaan kalian? Jangan karena kebencian kalian, menyebabkan kalian berbuat tidak adil”
“Tapi dia pencoleng, pak Haji” sorang anak muda teriak, tak kalah kerasnya dengan suara Haji Murad. Wajahnya, jelas terlihat, tak suka pada Haji Murad.
“Saya tahu. Saya tahu bahkan lebih tahu dari apa yang kalian tahu.” Lanjut Haji Murad. Wajahnya kini terlihat keras, matanya mulai merah, kumis baplang yang sebesar pisang ambon diatas bibir Haji Murad, mulai naik turun. Dia benar-benar marah kini.
“Dengan membakar si pencoleng, kita lebih biadab dari dia. Padahal, apalah dia? Pencoleng yang akan kalian bakar itu bernama Atok. Saya kenal dia. Bahkan kenal sekali, dia dulu, pernah jadi santri saya. Atok yang saya ajar bertahun-tahun itu, memang memiliki kecenderungan untuk jadi bangsat.
Dasar Atok teni Horbo. Dasar Atok Bodat. Dia dulu pernah merantau ke Banten, di Banten kelakuannya makin menjadi-jadi, semua dia makan, mulai barang haram sampai isteri orang dia makan, dasar Kandiak si Atok itu. Waktu baru tamat belajar, dia saya angkat jadi guru. Karena Atok punya otak encer. Tapi apa lacur, muridnya dia gagahi. Guru yang lain, diGugu lan ditiru, bagi Atok Guru, Wagu lan Saru. Nah, sekarang kalian lihat, si teni Horbo itu sudah tak berdaya, meringkuk memelas, sudah tak ngaceng lagi, tak bisa lagi makan barang haram dan tak bisa lagi makan isteri orang. Lalu, untuk apa kalian bakar?” mereka yang berkerumun hanya diam.
Tak disangka pesakitan yang kini meringkuk penuh lumuran darah itu, bekas santri Haji Murad. Pemuda yang membawa bensin, sudah tak terlihat lagi. Apakah dia kecewa karna gagal membakar di Kandiak Atok atau karena alasan lain, tak jelas. Jumlah kerumunan itupun semakin berkurang. Tak sebanyak tadi l;agi.
“Jadi saudara-saudara. Jangan kalian kotori tangan kalian dengan membakar si Kandiak Atok itu, cukuplah si Bodat itu telah menerima balasannya dengan babak belur kalian hajar. Biarkan si Teni Horbo itu, diadili dengan hukum positif yang berlaku di Negara kita. Pengadilanlah kelak yang akan memutuskan berapa tahun si Bodat itu akan dihukum” demikian Haji Murad, masih dengan suara lantangnya. Mata merah dan kumis baplangnya.
Dari arah timur tempat kerumunan itu, terdengar jeritan sirine dari mobil polisi, dibelakangnya turut serta sebuah mobil Pick-Up bak terbuka. Suara lolongan sirine mobil Polisi, menelan habis suara Haji Murad. Tak berapa lama kemudian, mobil Polisi dan pick-up bak terbuka itu, telah tiba dikerumunan orang banyak.
Dua orang polisi turun untuk mengangkat sosok kandiak Atok ke pick-up bak terbuka. Agaknya sosok berat kandiak Atok menyebabkan Polisi kesulitan untuk mengangkatnya, dengan ditolong kerumunan orang yang ada, sosok teni Horbo itu, sekali lempar mendarat dengan suara berdebam di lantai pick-up bak terbuka.
Tak berapa lama, rombongan Polisi itupun berangkat, meninggalkan kerumunan orang banyak. Tujuannya jelas, ke RSUD. Tapi apakah sosok teni Horbo itu, akan selamat sampai RSUD atau meninggal diperjalanan, tak seorangpun tahu. Mengingat kondisi si Bodat itu, sudah hancur lebam.
Catatan:
Teni Horbo artinya tahi Kerbau (bahasa Batak)
Bodat artinya monyet (bahasa Batak)
Kandiak artinya Babi (bahasa Minang)
Wagu artinya tidak pantas (bahasa Jawa)
Saru artinya tidak senonoh (bahasa Jawa)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI