Siapa yang tak kenal Haji Murad. Tokoh yang terkenal tegas, berwibawa, penolong pada masyarakat lemah, berani membela kebenaran. Tokoh yang jika bicara tanpa tedeng aling-aling. Beberapa mereka yang tak mengenal dekat Haji Murad akan memiliki kesan bahwa tokoh ini kasar. Tetapi, mereka yang mengenalnya, itulah Haji Murad dengan segala keterus-terangannya.
“Berhenti… Berhenti…” suara lantang Haji Murad jelas terdengar oleh mereka yang berkerumun.
“Apa-apaan kalian? Jangan karena kebencian kalian, menyebabkan kalian berbuat tidak adil”
“Tapi dia pencoleng, pak Haji” sorang anak muda teriak, tak kalah kerasnya dengan suara Haji Murad. Wajahnya, jelas terlihat, tak suka pada Haji Murad.
“Saya tahu. Saya tahu bahkan lebih tahu dari apa yang kalian tahu.” Lanjut Haji Murad. Wajahnya kini terlihat keras, matanya mulai merah, kumis baplang yang sebesar pisang ambon diatas bibir Haji Murad, mulai naik turun. Dia benar-benar marah kini.
“Dengan membakar si pencoleng, kita lebih biadab dari dia. Padahal, apalah dia? Pencoleng yang akan kalian bakar itu bernama Atok. Saya kenal dia. Bahkan kenal sekali, dia dulu, pernah jadi santri saya. Atok yang saya ajar bertahun-tahun itu, memang memiliki kecenderungan untuk jadi bangsat.
Dasar Atok teni Horbo. Dasar Atok Bodat. Dia dulu pernah merantau ke Banten, di Banten kelakuannya makin menjadi-jadi, semua dia makan, mulai barang haram sampai isteri orang dia makan, dasar Kandiak si Atok itu. Waktu baru tamat belajar, dia saya angkat jadi guru. Karena Atok punya otak encer. Tapi apa lacur, muridnya dia gagahi. Guru yang lain, diGugu lan ditiru, bagi Atok Guru, Wagu lan Saru. Nah, sekarang kalian lihat, si teni Horbo itu sudah tak berdaya, meringkuk memelas, sudah tak ngaceng lagi, tak bisa lagi makan barang haram dan tak bisa lagi makan isteri orang. Lalu, untuk apa kalian bakar?” mereka yang berkerumun hanya diam.
Tak disangka pesakitan yang kini meringkuk penuh lumuran darah itu, bekas santri Haji Murad. Pemuda yang membawa bensin, sudah tak terlihat lagi. Apakah dia kecewa karna gagal membakar di Kandiak Atok atau karena alasan lain, tak jelas. Jumlah kerumunan itupun semakin berkurang. Tak sebanyak tadi l;agi.
“Jadi saudara-saudara. Jangan kalian kotori tangan kalian dengan membakar si Kandiak Atok itu, cukuplah si Bodat itu telah menerima balasannya dengan babak belur kalian hajar. Biarkan si Teni Horbo itu, diadili dengan hukum positif yang berlaku di Negara kita. Pengadilanlah kelak yang akan memutuskan berapa tahun si Bodat itu akan dihukum” demikian Haji Murad, masih dengan suara lantangnya. Mata merah dan kumis baplangnya.
Dari arah timur tempat kerumunan itu, terdengar jeritan sirine dari mobil polisi, dibelakangnya turut serta sebuah mobil Pick-Up bak terbuka. Suara lolongan sirine mobil Polisi, menelan habis suara Haji Murad. Tak berapa lama kemudian, mobil Polisi dan pick-up bak terbuka itu, telah tiba dikerumunan orang banyak.
Dua orang polisi turun untuk mengangkat sosok kandiak Atok ke pick-up bak terbuka. Agaknya sosok berat kandiak Atok menyebabkan Polisi kesulitan untuk mengangkatnya, dengan ditolong kerumunan orang yang ada, sosok teni Horbo itu, sekali lempar mendarat dengan suara berdebam di lantai pick-up bak terbuka.