Ramadhan prinsipnya menahan hawa nafsu, guna mencapai derajat manusia yang memiliki empaty pada sesama manusia dan sesama makhluk hidup. Dunia sudah begitu gersang dengan tiadanya empaty sesama manusia. Ramadhan hadir untuk menjawab semua kebutuhan itu.
Namun, kenyataan yang ada, jauh panggang dari api. Rona budaya sangat kental membelenggu Ramadhan. Salahkah budaya? Tidak, jika budaya diartikan sebagai budaya adiluhung Bangsa. Namun yang terjadi, budaya hedonis mendominasi pengertian kita tentang budaya.
Ramadhan sendiri belum datang, masih sebulan lagi. Tetapi tiket Kereta Api untuk mudik dan balik telah habis terjual. Alasannya dibuat sungguh indah, menjalin silahturahmi. Sungkem pada orang tua dan mencari akar budaya dimana sang perantau berasal. Kenyataan yang terjadi, mudik hanya sebagai ajang pamer dan unjuk keberhasilan. Bahwa sang putra daerah telah berhasil menundukan Ibu Kota. Indikasinya, dengan materi yang dipamerkan saat mudik, bisa berbentuk mobil mewah yang dikendarai, pakaian bagus yang dikenakan dan segala pernak-pernik lainnya.
Tiba-tiba saja, manusia menjadi alim, semua tayangan di Televisi menutup aurat, permohonan maaf bertebaran di media sosial, para lelaki beramai-ramai memakai baju koko.
lalu, tiba-tiba..
semua meminta maaf
meminta diikhlaskan
menutup aurat dan memakai baju koko dan peci
..........
aku hanya bertanya,
kemana aja, selama ini bro?
besok, hanya sebuah kawah candradimuka,
pemenangnya? ditentukan satu bulan kedepan.
kesejatiannya, ditentukan hingga kita menutup mata
Di saat yang sama, iklan penebaran nafsu mendominasi TV dan media lainnya. Sasarannya pelampiasan terhadap syahwat perut dan busana. Berbagai makanan, minuman, dan pakaian indah, gencar ditayangkan dengan frekwensi tak kalah dengan gegap gempitanya Ramadhan itu sendiri.
Padahal, hakekat ramadhan justru berbanding terbalik dengan itu. Ramadhan, adalah ritual menahan hawa nafsu terhadap syahwat perut dan yang menutupi perut. Ibadah ramadhan dilakukan dengan silent, diam tak bersuara. Tak ada manusia lain yang mengetahui apakah yang bersangkutan sedang melakukan ibadah puasa atau tidak melakukan ibadah puasa. Sahur dilakukan disaat manusia tidur nyenyak, berbuka dilakukan ketika jam kantor telah usai.
Pemikiran nan fokus pada mudik, akhirnya menyita seluruh ritual ibadah puasa, membuat perilaku mengumpulkan duit sebanyak mungkin, mengeluarkan dengan secermat mungkin. Nyaris pelit. Padahal esensinya puasa adalah empaty, simpaty. Ramadhan adalah Syahrul al-Judd (bulan kedermawanan). Bulan dimana sedekah infak sangat dianjurkan untuk meringankan beban fakir miskin. Bahkan diujung bulan ibadah puasa, tak sempurna ibadah seseorang sebelum mengeluarkan zakat fitrah.
Dengan prinsip bahwa tak boleh ada satu orangpun anak manusia, yang tidak memiliki panganan dihari raya iedul fitri. Ramadhan, juga disebut sebagai Syahr al-shabar (bulan kesabaran), melatih manusia untuk bersabar, sabar dalam perilaku, menahan kesengsaraan dan sekaligus sabar ketika sukses untuk tidak lupa diri dan tetap memiliki empaty pada mereka yang tidak atau belum sukses.
Hukum logika sebab akibat, pun tak berjalan untuk ramadhan. Jika awal puasa kita berat melakukan ibadah puasa, karena harus tidak makan dan minum di siang hari, lalu taraweh pada waktu malam. Maka, logisnya, setelah beberapa lama, akan menjadi ringan melaksanakannya. Tetapi yang terjadi, sebaliknya.
Pada awalnya Mesjid penuh, makin hari makin berkurang, hingga puncaknya ketika mendekati hari-hari akhir Ramadhan hanya tinggal satu shaf/baris. Sebabnya, semua sibuk mempersiapkan mudik dan sebagian besar sudah mudik. Jika awalnya, malu jika tidak puasa, maka sepekan terakhir, utamanya mereka sedang mudik, tanpa malu-malu makan minum di perjalanan.
Saat lebaran belum tiba. Tapi, bagi pemudik, lebaran sudah dimulai, dengan asumsi boleh tidak berpuasa, ketika dalam kondisi musafir. Sebuah ironi. Mengganti yang wajib menjadi sunat dan sunat menjadi wajib. Puasa yang wajib, kalah dengan budaya mudik yang sunat.
Sebuah Solusi.
Pesan ramadhan akan sampai, jika saja, kita mampu untuk menangkap hikmah yang ramadhan berikan. Diantara hikmah itu.
Satu, Bangun lebih pagi. Ada kiat sukses, jangan bangun kedahuluan oleh Ayam. Jika Ayam yang bangun pagi aja, hanya memperoleh remah makanan. Lalu apa yang akan diperoleh mereka yang bangun kalah duluan dengan Ayam. Ramadhan mengajarkan itu pada kita. Kita bangun sebelum Ayam bangun. Konsep sukses yang berlaku universal, seperti kata Benjamin Franklin,”Early to bed and early to rise make a man healthy, wealthy, and wise”
Bangun pagi yang dihubungkan dengan Shaur, tidak berhanti pada titik itu saja. Ibadah sholat Subuh mengiringi dibelakangnya. Kesatuan sempurna antara santapan Jasmani dan rohani. Akibat turunan dari kondisi terpenuhinya santapan Jasmani dan Rohani, akan berdampak pada kesehatan rohani dan Jasmani.
Tiga, Tahu bersyukur. Jika ingin mengerti nikmatnya makan dan minum, maka tunggulah ketika perut lapar dan dan dahaga tiba. Puasa mengajarkan itu. Ketika berbuka. Betapa nikmatnya tegukan air yang pertama melewati tenggorokan, betapa nikmatnya makanan ketika perut lapar setelah satu hari full tanpa makanan.
Kesyukuran akan nikmat itu, diharapkan agar ditransformasikan kedalam kehidupan nyata pasca Ramadhan. Betapa banyak manusia tak mengenal siang malam mencari nafkah bukan karena miskin. Melainkan karena kurang banyak. Mengapa kurang banyak? Karena tak mampu bersyukur. Tak mampu menikmati apa yang telah diperoleh.
Pengejaran pada materi yang tidak berujung, akan menimbulkan kerugian yang tak diperhitungkan sebelumnya. Berbagai penyakit datang, kehangatan hubungan dalam keluarga yang hilang, sirnanya kehangatan antara suami- isteri, orang tua-anak. Merupakan harga mahal yang harus dibayar karena hilangnya rasa syukur pada perolehan yang telah dimiliki.
Empat, Menyuburkan Empaty pada sesama. Gersangnya kehidupan tanpa empaty semua orang mengetahuinya. Namun, untuk melakukannya, perlu stimulus. Ramadhan menyediakan itu. Dengan berlapar-lapar, akan ada empaty pada mereka yang “lapar”. Target pencapaian dalam perolehan materi, akan menghindarkan terciptanya atau bertambahnya jumlah kelompok mereka yang “lapar”. Sebaliknya, upaya pencapaian target perolehan materi sebanding dengan upaya mengurangi kelompok mereka yang “lapar”. Mengangkat derajat mereka sebanding kemajuan pencapaian yang kita peroleh.
Masalahnya, maukah kita mengambil hikmah ramadhan? Lalu mentransformasikannya dalam kehidupan nyata pasca lebaran. Inilah PR kita yang sesungguhnya…. Wallahu A’laam.
sumber gambar. disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H