besok, hanya sebuah kawah candradimuka,
pemenangnya? ditentukan satu bulan kedepan.
kesejatiannya, ditentukan hingga kita menutup mata
Di saat yang sama, iklan penebaran nafsu mendominasi TV dan media lainnya. Sasarannya pelampiasan terhadap syahwat perut dan busana. Berbagai makanan, minuman, dan pakaian indah, gencar ditayangkan dengan frekwensi tak kalah dengan gegap gempitanya Ramadhan itu sendiri.
Padahal, hakekat ramadhan justru berbanding terbalik dengan itu. Ramadhan, adalah ritual menahan hawa nafsu terhadap syahwat perut dan yang menutupi perut. Ibadah ramadhan dilakukan dengan silent, diam tak bersuara. Tak ada manusia lain yang mengetahui apakah yang bersangkutan sedang melakukan ibadah puasa atau tidak melakukan ibadah puasa. Sahur dilakukan disaat manusia tidur nyenyak, berbuka dilakukan ketika jam kantor telah usai.
Pemikiran nan fokus pada mudik, akhirnya menyita seluruh ritual ibadah puasa, membuat perilaku mengumpulkan duit sebanyak mungkin, mengeluarkan dengan secermat mungkin. Nyaris pelit. Padahal esensinya puasa adalah empaty, simpaty. Ramadhan adalah Syahrul al-Judd (bulan kedermawanan). Bulan dimana sedekah infak sangat dianjurkan untuk meringankan beban fakir miskin. Bahkan diujung bulan ibadah puasa, tak sempurna ibadah seseorang sebelum mengeluarkan zakat fitrah.
Dengan prinsip bahwa tak boleh ada satu orangpun anak manusia, yang tidak memiliki panganan dihari raya iedul fitri. Ramadhan, juga disebut sebagai Syahr al-shabar (bulan kesabaran), melatih manusia untuk bersabar, sabar dalam perilaku, menahan kesengsaraan dan sekaligus sabar ketika sukses untuk tidak lupa diri dan tetap memiliki empaty pada mereka yang tidak atau belum sukses.
Hukum logika sebab akibat, pun tak berjalan untuk ramadhan. Jika awal puasa kita berat melakukan ibadah puasa, karena harus tidak makan dan minum di siang hari, lalu taraweh pada waktu malam. Maka, logisnya, setelah beberapa lama, akan menjadi ringan melaksanakannya. Tetapi yang terjadi, sebaliknya.
Pada awalnya Mesjid penuh, makin hari makin berkurang, hingga puncaknya ketika mendekati hari-hari akhir Ramadhan hanya tinggal satu shaf/baris. Sebabnya, semua sibuk mempersiapkan mudik dan sebagian besar sudah mudik. Jika awalnya, malu jika tidak puasa, maka sepekan terakhir, utamanya mereka sedang mudik, tanpa malu-malu makan minum di perjalanan.
Saat lebaran belum tiba. Tapi, bagi pemudik, lebaran sudah dimulai, dengan asumsi boleh tidak berpuasa, ketika dalam kondisi musafir. Sebuah ironi. Mengganti yang wajib menjadi sunat dan sunat menjadi wajib. Puasa yang wajib, kalah dengan budaya mudik yang sunat.
Sebuah Solusi.