Adanya inkonsistensi
Sejak launching PD secara resmi, maka artinya, Pendamping Desa ex PNPM tidak ada lagi, yang ada kini Pendamping Desa, Titik. Sementara itu, satker melakukan selekasi untuk pemenerimaan Pendamping Desa baru, guna memenuhi kekurangan PD dan PLD. Disinilah masalahnya dimulai. Di tengarai PLD dan PD baru, tidak diterima berdasarkan kompetensi keahlian mereka dan strata pendidikan yang disyaratkan. Melainkan, karena adanya benang merah dengan partai politik tertentu. Temuan itu, makin terasa, ketika PLD datang ke Desa dengan segala ketidak mengertian mereka dengan apa yang menjadi kewajian tugasnya.
Disisi lain, para PD dan PLD baru, yang direkrut hasil seleksi, dilakukan pelatihan guna memperkenalkan bidang tugas mereka, apa yang harus mereka lakukan, apa yang tidak boleh mereka lakukan, bagaimana trik-trik menjalankan tugas dan lain sebagainya. Siapa yang melatih mereka? Siapa pemateri Pelatihan itu? Jawabannya, ya PD mantan ex PNPM.
Sampai disitu, semuanya masih oke.. semua clear.
Tetapi, masalahnya kemudian. Timbul wacana, agar ex PNPM diseleksi ulang?
Hal inilah yang memicu inkonsistensi dalam pola pikir pembuat kebijakan, terutama dari Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi.
Seperti:
- Bagaimana mereka yang sejak launching PD pada tanggal 2 Juli 2015, dianggap sebagai PD, kemudian harus diseleksi kembali agar diakui sebagai PD. Lalu, pertanyaannya, siapa mereka yang berjumlah 12.000. orang ketika Launching PD pada tanggal 2 Juli 2015 di Jakarta tempo hari. Kalau mereka bukan PD, artinya ada kebohongan publik yang dilakukan kementrian Desa Tertinggal. Kalau kementrian Desa Tertinggal tidak berbohong, maka mereka itu PD, lalu mengapa harus di seleksi lagi?
- Ada anggapan jika PD ex PNPM, kapasitas kemampuannya diragukan. Jika memang kemampuannya diragukan. Mengapa mereka diperintahkan sebagai pemateri pada pelatihan PD hasil seleksi. Meragukan kapasitas kemampuan pemateri, itu artinya meragukan hasil pelatihan yang dilakukan oleh pemateri yang diragukan. Dengan demikian, secara implisit meragukan PD hasil seleksi, karena ilmu yang mereka peroleh berasal dari sumber, yang kadar keilmuannya diragukan. Adagiumnya, tak ada murid yang lebih pintar dari guru.
- Memaksakan kehendak agar ex PNPM dilakukan seleksi ulang, sama artinya, meniadakan sesuatu yang telah terjadi. Seperti, siapa mereka yang dulu dilaunching sebagai PD dengan jumlah 12.000 orang itu? Termasuk, menisbikan atau meragukan atau menadirkan hasil pengakhiran PNPM, menisbikan data tentang asset Desa dan keraguan yang sama pada sosialisai Undang-undang Desa.
- Menisbikan hasil sosialisasi UU Desa, sama dengan mentolerir penyimpangan yang dilakukan oleh Desa ketika Undang-Undang Desa dilaksanakan. Dengan filosofi berpikir, apa yang bisa dituntut pada mereka yang melakukan kesalahan, sementara, merekq tidak tahu akan kesalahan yang mereka lakukan. Sama sebangun menjatuhkan hukuman pada mereka yang sakit jiwa.
Ex PNPM Akhli Tentang Desa?
Jika diartikan, bahwa bebasnya ex PNPM dari seleksi ulang Pendamping Desa, sebagai indikator mereka akhli dalam pendampingan Desa. Maka kesimpulan itu salah. Catat itu. Salah!!!
Awalnya, memang fasilitator adalah mereka yang akhli dalam masalah Desa, mereka dekat dengan orang Desa, bergaul dengan orang desa. Bahkan, mereka berdomisili di daerah kerja mereka.
Tetapi, dengan berjalannya waktu, terutama sejak 2013. Para fasilitator makin dibebani dengan tugas-tugas administrasi yang semakin “njlimet”. Tingkat keberhasilan fasilitator, tidak lagi ditentukan oleh apa yang mereka perbuat di daerah tugas mereka. Melainkan, seberapa lengkap laporan tugas dan laporan individu yang mereka serahkan pada jenjang diatasnya.