Beberapa hari ini, saya kok dihinggapi rasa galau, hehehe… kayak anak abg saja. Sebabnya apa? Itulah yang jadi masalahnya, saya tak tahu sebab pastinya. Sore itu saya mengajak anak isteri saya ke laut, kegiatan yang sebenarnya sangat rutin saya lakukan. Karna, hampir tiap minggu, hal itu saya lakukan.
Jangan pembaca pikir karena, saya banyak duit, hingga dapat ke pantai hampir tiap minggu, bahkan kadang bisa, seminggu dua kali. Sebab, untuk ke pantai, dengan roda empat hanya dibutuhkan bensin satu liter pergi-pulang, tanpa biaya parkir dan biaya kuliner, secangkir kopi, secangkir teh manis dan satu botol teh botol serta beberapa potong gorengan, jika ditotal harganya, paling besar dua puluh ribu.
Di bawah pohon rindang dan saung tepi laut, ditingkah deburan ombak, laut pantai selatan, serta anak dan isteri, saya bertanya dalam hati. Apakah sih yang membuat suasana bathin saya, kok beberapa hari ini, galau? Rasanya tak ada alasan yang bisa saya sebutkan, untuk menjadikan hati ini galau.
Alam yang begitu indah, terbebasnya saya dalam soal waktu mencari nafkah, serta harta yang paling berharga yang saya miliki kini, istri dan putra semata wayang? Lalu, alasan apa yang menjadikan galau? Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan? Nikmat Tuhan mana lagi yang tak patut kau syukuri?
[caption caption="sang Putra, Singa yang diharapkan dapat mengaum dengan kerasnya (dok.Pribadi"][/caption]
Terkenang Bunda.
Apa karena, saya teringat Mandeh? Untuk apa? Bukankah beliau telah lama berpulang ke haribaanNya? Sudah angka dua digit dalam hitungan tahun.
Bukankah kesombongan dan harapan untuk meraih masa depan sudah kau bayar lunas, ketika kau sadari betapa sakitnya ditinggalkan Mandeh, Bukankah kau yang dulu pergi meninggalkan Mandeh, kini baru merasa beratnya ditinggalkan, ketika Mandeh lebih dulu meninggalkanmu?
Inilah syair lagu yang masih saya ingat itu. Sebuah lagu Minang jadul, dengan Judul, Tinggalah Kampuang.
Tinggalah kampuang ranah Balingka
Gunung Singgalang (ondeh) lai ka manjago
Oi Mandeh kanduang, tolong jo do’a
Antah pabilo (ondeh) kito basuo
(Tinggal lah kampung, tanah Balingka,
Gunung Singgalang, yang akan menjagamu
Oh..Bunda kandung, tolong do’akan nanda
Entah kapan, kita kan bertemu lagi)
Reff:
Takadia untuang, kok lai ka mujua
Bilo masonyo kito basuo
Sadangnyo arek tali jo buhua
Bakarek rotan kini jadinyo
Jikok taragak yo nak basuo
Di dalam nyanyi (ondeh) denai pasankan
Jikok taragak Mandeh jo ambo
Didalam mimpi (ondeh) kito batamu
Oi Mandeh kanduang tolong jo do’a
Antah pabilo (ondeh) kito basuo.
(Mudah-mudahan nasib ‘kan mujur
Akan datang masanya kelak, kita bertemu
Sedang kasihnya Bunda pada hamba
Kini kita harus berpisah
Jika rindu ingin bertemu
Di dalam syair lagu, nanda akan dendangkan
Jika rindu Bunda pada nanda
Di dalam mimpi kita bertemu
Oh… Bunda kandung, tolong do’akan nanda
Entah bila kita kan bertemu)
Demikianlah, dendang syair lagu kerinduan sang anak pada Mandeh, ketika merantau dulu, meminta do’a pada sang Mandeh untuk mengangkat harkat diri, memperbaiki masa depan dan meneruskan tradisi, bahwa anak laki-laki harus merantau. Betapa sang anak tak menyadari, sedihnya sang Mandeh, ketika anak yang dikandungnya selama sembilan bulan itu, sang buah hati pelerai damam itu, kini telah meninggalkannya, hingga waktu yang tak tentu, kapan kan pulang?
Kini, ketika sang anak pulang, Mandeh yang dia rindu itu baru saja menghadap sang Kuasa, tak ada lagi harga materi yang dia bawa pulang, tak ada lagi Mandeh yang akan mendengar cerita sang anak, dalam menaklukan ranah rantau. Kini, baru dia sadari betapa sakitnya Mandeh ketika dia tinggalkan dulu, seperti yang dia rasa kini, ketika Mandeh meninggalkannya,
Kini, di bawah rindangnya pohon dan saung tepi laut itu, ada air mata yang tak sempat dijatuhkan, bukan karena sang anak gagah dan jantan. Tetapi sang anak telah menjadi seorang ayah dari sang anak dan suami dari isterinya. Biarlah anak dan isteri tak perlu tahu apa yang dia rasa, biarlah dia reguk rasa itu, untuk dirinya sendiri.
*****
Sehari kemudian setelah itu, ada masakan kesukaannya yang terhidang, ada isteri yang memeluknya, ada anak yang menyalami dirinya, kiranya, inilah hari ulang tahunnya. Tanggal dimana sang Mandeh menyabung nyawa, demi untuk menyambut datangnya sang buah hati. Makin larutlah rasa itu, jika saja, dulu dia, bisa melakukan hal yang sama pada sang Mandeh…
Tengah hari berlalu, dihari yang sama menjelang sore, ketika HP saya berbunyi, ada suara di ujung sana, suara yang saya kenal betul.
“Amak ya?” demikian saya menyebut Ibu Rose Tjiptadinata Effendi.
“Iya nak?” jawab suara Amak di ujung sana.
“Ada apa Mak? Amak sehat? Apak sehat?” Tanya saya lagi, Apak maksudnya pak Tjip.
“Amak ingin menyampaikan HBD, selamat ulang tahun untuk nanda”
“Kok, Amak tahu, hari ini, ulang tahun nanda? Amak lagi dimana sekarang?”
“Amak mana yang tak tahu, bila saatnya sang anak ulang tahun, Amak lagi Walongong (Australia), Apak juga di sebelah Amak, beliau titip salam untuk nanda”
Saya tak tahu lagi harus berkata apa, ada haru yang menyergap dan menguasai diri secara penuh. Mandeh yang telah pergi itu, kini, digantikan Amak.
Jangan tanya berapa usiamu, jangan tanya apa jabatanmu, hartamu yang paling berharga adalah anak isterimu, eksistensimu yang paling tak ternilai, ketika kau tahu ada orang tuamu yang menyayangim.
[caption caption="Pak Tjip, Ibu Roseline dan Penulis (dok.Pribadi)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H