Ruangan tamu itu, kembali sunyi. Selamat seakan ditelanjangi oleh Ustadz Alamsyah. Selamat tak mengerti, apa semua tujuan Ustadz Alamsyah menginterogasinya. Kalau saja, bukan karna Hadi, bukan karena terlanjur akan berkata jujur. Dia tak akan bercerita tentang dirinya. Tentang masa lalunya, yang sudah dia kubur dalam-dalam, yang tak perlu orang lain tahu.
“Baiklah…, lamaran Pak Selamat kami terima, dengan satu syarat” kata Ustadz Alamsyah memecah keheningan ruang tamu.
“Katakan saja syaratnya Pak” jawab Selamat pula.
Kagok sudah terlanjur datang, maju terus, pantang mundur. Anak Medan, manapula bisa ditantang-tantang. Kau jual tadz, aku beli cash, bathin Selamat lagi.
“Pak Selamat harus melamar Ibu Lastri juga” kata Ustadz Alamsyah pelan. Tapi ditelinga Selamat bagi petir yang menyambar. Hampir saja, dia memaki Ustadz Alamsyah sebagai ustadz gila. Kalau saja, Selamat tak mendengar tangisan yang pecah dari Ibu Lastri.
Cadar yang menutupi wajah Ibu Lastri, dia buka. Wajah itu kini berurai air mata, wajah itu, wajah yang sangat dia kenali, wajah yang selama ini dia cari, bahkan hingga tiga bulan terakhir Selamat di Medan. Wajah Mariana.
“Karena, sesungguhnya, Lastri adalah anak Pak Selamat, dan Ibu Lastri, Mariana, adalah mantan Isterinya” kata ustadz Alamsyah lagi.
Selamat sudah tak mendengarkan apa yang disebut ustadz Alamsyah yang terakhir ini, dia langsung berdiri, dengan sekali langkah, dia sudah menyebarangi meja tempat mereka duduk. Selamat bersimpuh pada kaki Mariana. Ungakapan penyesalan yang sangat. Belum lagi, kepala itu menyentuh kaki Mariana, Mariana telah mengangkat kepala Selamat. Mereka berdiri berhadapan.
Entah siapa yang memulai, mereka sudah berpelukan. Lastri, entah kapan serta, ketiga anak beranak itu sudah berpelukan. Tangisan tumpah pada ketiganya. Tangisan dengan sejuta makna. Tangisan penanda setelah 23 tahun kemudian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H