Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Ibu Lastri, bahkan muka teduh itu, kini nampak tertunduk. Tak ada suara. Hening. Suasana yang berlangsung sesaat itu, cukup mencekam. Ada apa ini? Apakah lamaran mereka akan tertolak? Tapi, apa iya. Bukankah semua saran yang Lastri kemukakan pada Hadi, telah mereka penuhi semua.
Selamat menatap pada Hadi, Hadi menatap lama pada Selamat. Seakan bertanya, apa arti semua yang terjadi ini. Tatapan Selamat, seakan menjawab, bahwa Selamat, juga tidak tahu, artinya semua itu.
“Baiklah Pak Selamat, sebelum kami menjawab iya atau tidak, ada beberapa pertanyaan yang masih mengganjal kami” kata Ustadz Alamsyah mewakili keluarga Lastri.
“Silahkan tanya pak, hal-hal yang belum jelas” kata Selamat pula.
“Saya ingin jawaban yang jujur pak Selamat” kata Ustadz Alamsyah lagi.
“Tentu pak, saya akan jawab dengan jujur” Jawab Selamat.
Ada apa ini? bathin Selamat. Apakah tampangnya, menggambarkan seorang yang tidak jujur? Atau karena dialek Medannya yang masih kental, sedang Hadi, dialek Jawanya masih medok, sehingga menimbulkan kecurigaan, ketika dia melamarkan Hadi untuk Lastri.
“Baiklah..” kata Kata Ustadz Alamsyah lagi.
“Apakah pak Selamat masih keluarga nak Hadi?” tanya ustadz Alamsyah mulai bertanya.
“Tidak pak” jawab Hadi singkat.
“Mungkin, orang tua nak Hadi, masih ada hubungan darah dengan pak Selamat?”