[caption caption="Buku Catatan kecil, perjalanan PNPM-MPd (dok. Pribadi)"][/caption]PNPM sudah tamat. Sudah almarhum. Kalaupun ada yang perlu diingat dan dikenang dari PNPM adalah semangat dan ruhnya. An sich, hanya itu. Titik.
Lalu, ada status yang bermimpi, menginginkan agar PNPM yang sudah almarhum itu, coba dihidupkan kembali menjadi partai politik. Bernama Partai Nasional Pemberdayaan Masyarakat.
Secara tekhnis, pembentukan partai PNPM, akan segera memenuhi syarat. Mengingat mereka akan mudah membentuk cabang mulai dari DPD, DPC, ranting kecamatan hingga Desa. Karena, mereka dulu, pernah memiliki jalur demikian. Di DPD dulu ada RMC, di DPC ada Faskab dan di kecamatan ada FK di Desa ada KPMD.
Dengan perangkat lengkap hingga ke Desa. Jika dilakukan pemilu 2019. Partai PNPM dijamin akan menang. Pertimbangan lain, PNPM telah melekat di hati pelaku dan masyarakat penerima manfaat, selama kehadiran PNPM di Republik tercinta ini.
Jika menang, maka Partai PNPM diharapkan mampu mempengaruhi kebijakan di Tingkat Pusat, Provinsi dan Daerah tentang pemberdayaan.
Benarkah demikian halnya? Semudah itukah? Untuk itu, tulisan ini dibuat.
Beberapa kendala.
Satu, Wacana tentang pembentukan partai politik, mestinya ada nilai dan cita-cita yang ingin dicapai. Ada visi dan misinya. Jika yang ingin dicapai, hanya ingin mempengaruhi kebijakan di Tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten hingga Kecamatan. Agaknya, sesuatu yang absurd dan lemah. Kenapa? Karena, Pola pemberdayaan yang sedang dikembangkan sekarang, bukan pola pemberdayaan yang tersentralistik di pusat. Melainkan, penafsiran terhadap undang-undang Desa, yang berdiri diatas realitas hidup masyarakat Desa. Tak ada hierarki penafsiran, tak ada sentralistik dan dominasi pemberdaya, atas apa yang menjadi kebijakan PNMP.
Pertanyaan sekarang, jika PNPM menjadi partai yang menang, mampukah partai ini kelak, merubah arus pemikiran yang sudah menjadi mainstream kebijakan pemerintah, berdasarkan payung hukum legalnya, Undang-Undang Desa? Pertanyaan ini, mestinya, menjadi bagian dari visi dan misi partai yang bernama PNPM. Jika tidak, lalu buat apa partai ini dibentuk.
Dua, Jika jawaban dari pertanyaan pertama diatas, tidak mampu. Lalu, berdalih bahwa partai ini, akan fokus pada pengawalan kebijakan yang diputuskan sesuai dengan ruh dan semangat pemberdayaan yang selama ini hidup di PNPM. Maka, keberadaan partai ini, semakin tidak jelas fungsinya. Bukankah untuk mengawal kebijakan itu, sekarang, tanpa kehadiran partai PNPM sudah dapat dilakukan.
Bukankah, selain Marwan Ja’far, jabatan-jabatan dibawahnya, pada kemendes diisi oleh mereka yang dulu menyebut dirinya sebagai para “Mbaurekso” PNPM. Apakah artinya seorang Marwan Ja’far jika disekelilingnya mampu mewarnai pelaksanaan kebijakan itu, sesuai dengan semangat dan ruh PNPM. Jika, pada kenyataannya, mereka tak mampu mewarnainya, hal yang sama juga berlaku, ketika mereka tak mampu mempengaruhi satker di level kerja mereka dulu. Baik itu ditingkat Pusat maupun di Provinsi.
Lalu, dimana urgensinya pembentukan partai PNPM?
Tiga, untuk pembentukan sebuah partai, dibutuhkan modal yang tidak kecil. Bukan hanya modal dalam bentuk financial. Tetapi juga, SDM.
Ketika, PNPM memiliki cabang DPD (RMC), DPC (faskab), Ranting (FK) hingga ke desa (KPMD) seluruh dananya, berasal dari anggaran PNPM, dalam hal ini, Bank Dunia (World Bank). Lalu, ketika dalam bentuk Partai, siapa yang memiliki dana untuk itu? Kalaupun ada, siapa yang sudi mengeluarkannya? Ingat, jumlahnya sangat besar. Mulai pusat hingga desa. Sebarannya seluruh wilayah Indonesia. Jika asumsinya, sebarannya wilayah partai yang akan dibuat nanti, sejumlah sebaran, ketika PNPM masih ada.
Lalu, pertanyaannya berikutnya. Siapkah SDMnya? Siapa pelaku-pelaku yang berada di Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan serta Desa, yang telah siap menjadi insan politik?. Bukankah kebijakan PNPM dulu, menghendaki pelaku-pelakunya steril dari politik. Lalu, jika dalam waktu singkat mereka, diharapkan jadi politikus, bukankah ini sesuatu yang gambling? Behaviour attitude pelaku PNPM, tak semudah itu dirubah. Mentransformasikan perilaku birokrat menjadi politikus bukan perkara gampang.
Apalagi jika diingat, kebijakan PNPM dan perilaku oknum PNPM sebagai beriku;
· Setiap waktu tertentu, terjadi mutasi. Baik itu dilingkungan Provinsi (RMC), Kabupaten (Faskab) maupun kecamatan (FK). Perilaku mutasi ini, disamping nilai-nilai positif yang mengiringinya, terselip juga kelemahan. Bagaimana, sesungguhnya para pemberdaya itu harus memulainya dari nol, bukan soal pemberdayaannya, melainkan soal sosok diri agar dikenal masyarakat binaanya. Mengetahui dengan pasti aspirasi, budaya lokal dan ruh masyarakat binaannya. Jika hal demikian gagal dilakukan seorang pemberdaya, lalu apa bedanya dia dengan “pekerja”. Apakah mungkin demikian? Sangat mungkin. Karena, sejak berjibunnya tugas laporan yang harus dibuat oleh seorang pemberdaya, maka orientasi tugas seorang pemberdaya, sudah beralih. Dari yang menghamba pada kerja volunterr, beralih pada pembuat laporan, untuk bagaimana bapak senang. Seakan target pencapaian, tercapai jika laporan tertulisnya ada.
· Tak adanya sentuhan pemberdayaan dari atas kebawah. Jika ada kunjungan dari Provinsi (RMC) atau kabupaten. Hal pertama yang ditanyakan, mana laporannya. Mengapa begini, mengapa begitu. Sangat tekhnis. Jika laporan salah, maka sang pemberdaya siap-siap mendapat sanksi. Sebuah kebijakan ala birokrat. Mereka lupa, jika mereka juga pemberdaya. Kesalahan pada level dibawahnya, merupakan kesalahan mereka juga. Dimana letak pendampingan mereka? Ketika, pulang dari kunjungan ke daerah lalu upload di FB foto makan-makan, yang menurut mereka, sebuah bentuk keakraban. Tetapi, menurut versi tafsir lain, merupakan sebuah bentuk pelecehan. Ketika datang “pembesar” maka pihak yang didatangi harus menyuguhkan “jamuan”. Bukankah itu, merupakan upeti? Merupakan grafitasi? Yang jika saja, mau jeli menafsirkan Tupoksi, semua itu, diharamkan.
· Kemana sentuhan manusiawi antar jenjang posisi? Ketika terjadi, keterlambatan gaji, mana RMC yang selama ini menganggap diri paling diatas? Para pemberdaya tingkat kabupaten dan kecamatan, tidak akan meminta gaji pada kalian. Tetapi, sebagaimana sebuah tubuh, tunjukkan rasa simpati itu. Buat mereka bersemangat, berikan motivasi. Jangan, karena RMC sudah digaji, karena sumber dana untuk uang gaji itu berbeda, RMC tenang-tenang saja, menutup diri. Lalu ketika ada kekeliruan, RMC yang berada di garda terdepan untuk menyalahkan. Padahal kesalahan dan kekeliruan itu, sedikit banyaknya karena andil RMC sendiri dalam pembinaan pemberdaya di daerah kerjanya.
· Ada gejala umum, bahwa budaya debat, memberi masukan, dari level bawah ke level diatasnya, tidak mendapat tempat di PNPM. Semuanya dianggap tabu dan tidak memenuhi dasar sopan-santun. Inilah, yang saya maksud dengan attitude behavior birokrat yang akan sulit dirubah menjadi attitude seorang politikus.
Empat, Tapi kita kan, sekarang dirugikan oleh kebijakan yang dilakukan oleh Partai tertentu dalam perekrutan tenaga PLD, PD. Maka urgen untuk membentuk Partai PNPM. Begitulah salah satu alasan dibentuknya partai PNPM. Alasan yang seakan-akan benar. Tetapi sesungguhnya, menafikan apa yang mereka buat pada masa lalu.
Maksudnya? Bukankah masalah itu, juga sudah terjadi pada masa lalu. Beberapa FK diterima karena ada titipan dari satker. Meskipun tak semasive sekarang. Tapi, ketika itu, mereka yang sekarang bercokol di Kemendes, berada di luar (depdagri).
Lha, jika mereka sekarang sudah bercokol di Kemendes, lalu, terjadi hal yang dikeluhkan itu. Bukankah itu, berarti, keberadaan mereka, juga kurang diperhitungkan.
Jadi masalahnya sekarang, bukan pembentukan partai PNPM yang mendesak. Tetapi, bagaimana mereka yang dulu merasa “mbaurekso” di PNPM dan kini berada di kemendes untuk meningkatkan arti kehadiran mereka dan meningkatkan bargaining position mereka terhadap “penyelewengan” yang terjadi dihadapan mereka sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H