Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Partai PNPM Sebuah Utopia

31 Januari 2016   13:49 Diperbarui: 31 Januari 2016   14:16 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lalu, dimana urgensinya pembentukan partai PNPM?

Tiga, untuk pembentukan sebuah partai, dibutuhkan modal yang tidak kecil. Bukan hanya modal dalam bentuk financial. Tetapi juga, SDM.

Ketika, PNPM memiliki cabang DPD (RMC), DPC (faskab), Ranting (FK) hingga ke desa (KPMD) seluruh dananya, berasal dari anggaran PNPM, dalam hal ini, Bank Dunia (World Bank). Lalu, ketika dalam bentuk Partai, siapa yang memiliki dana untuk itu? Kalaupun ada, siapa yang sudi mengeluarkannya? Ingat, jumlahnya sangat besar. Mulai pusat hingga desa. Sebarannya seluruh wilayah Indonesia. Jika asumsinya, sebarannya wilayah partai yang akan dibuat nanti, sejumlah sebaran, ketika PNPM masih ada.

Lalu, pertanyaannya berikutnya. Siapkah SDMnya? Siapa pelaku-pelaku yang berada di Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan serta Desa, yang telah siap menjadi insan politik?. Bukankah kebijakan PNPM dulu, menghendaki pelaku-pelakunya steril dari politik. Lalu, jika dalam waktu singkat mereka, diharapkan jadi politikus, bukankah ini sesuatu yang gambling? Behaviour attitude pelaku PNPM, tak semudah itu dirubah. Mentransformasikan perilaku birokrat menjadi politikus bukan perkara gampang.

Apalagi jika diingat, kebijakan PNPM dan perilaku oknum PNPM sebagai beriku;

·         Setiap waktu tertentu, terjadi mutasi. Baik itu dilingkungan Provinsi (RMC), Kabupaten (Faskab) maupun kecamatan (FK). Perilaku mutasi ini, disamping nilai-nilai positif yang mengiringinya, terselip juga kelemahan. Bagaimana, sesungguhnya para pemberdaya itu harus memulainya dari nol, bukan soal pemberdayaannya, melainkan soal sosok diri agar dikenal masyarakat binaanya. Mengetahui dengan pasti aspirasi, budaya lokal dan ruh masyarakat binaannya. Jika hal demikian gagal dilakukan seorang pemberdaya, lalu apa bedanya dia dengan “pekerja”. Apakah mungkin demikian? Sangat mungkin. Karena, sejak berjibunnya tugas laporan yang harus dibuat oleh seorang pemberdaya, maka orientasi tugas seorang pemberdaya, sudah beralih. Dari yang menghamba pada kerja volunterr, beralih pada pembuat laporan, untuk bagaimana bapak senang. Seakan target pencapaian, tercapai jika laporan tertulisnya ada.

·         Tak adanya sentuhan pemberdayaan dari atas kebawah. Jika ada kunjungan dari Provinsi (RMC) atau kabupaten. Hal pertama yang ditanyakan, mana laporannya. Mengapa begini, mengapa begitu. Sangat tekhnis. Jika laporan salah, maka sang pemberdaya siap-siap mendapat sanksi. Sebuah kebijakan ala birokrat. Mereka lupa, jika mereka juga pemberdaya. Kesalahan pada level dibawahnya, merupakan kesalahan mereka juga. Dimana letak pendampingan mereka? Ketika, pulang dari kunjungan ke daerah lalu upload di FB foto makan-makan, yang menurut mereka, sebuah bentuk keakraban. Tetapi, menurut versi tafsir lain, merupakan sebuah bentuk pelecehan. Ketika datang “pembesar” maka pihak yang didatangi harus menyuguhkan “jamuan”. Bukankah itu, merupakan upeti? Merupakan grafitasi? Yang jika saja, mau jeli menafsirkan Tupoksi, semua itu, diharamkan.

·         Kemana sentuhan manusiawi antar jenjang posisi? Ketika terjadi, keterlambatan gaji, mana RMC yang selama ini menganggap diri paling diatas? Para pemberdaya tingkat kabupaten dan kecamatan, tidak akan meminta gaji pada kalian. Tetapi, sebagaimana sebuah tubuh, tunjukkan rasa simpati itu. Buat mereka bersemangat, berikan motivasi. Jangan, karena RMC sudah digaji, karena sumber dana untuk uang gaji itu berbeda, RMC  tenang-tenang saja, menutup diri. Lalu ketika ada kekeliruan, RMC yang berada di garda terdepan untuk menyalahkan. Padahal kesalahan dan kekeliruan itu, sedikit banyaknya karena andil RMC sendiri dalam pembinaan pemberdaya di daerah kerjanya.

·         Ada gejala umum, bahwa budaya debat, memberi masukan, dari level bawah ke level diatasnya, tidak mendapat tempat di PNPM. Semuanya dianggap tabu dan tidak memenuhi dasar sopan-santun. Inilah, yang saya maksud dengan attitude behavior birokrat yang akan sulit dirubah menjadi attitude seorang politikus.

Empat, Tapi kita kan, sekarang dirugikan oleh kebijakan yang dilakukan oleh Partai tertentu dalam perekrutan tenaga PLD, PD. Maka urgen untuk membentuk Partai PNPM. Begitulah salah satu alasan dibentuknya partai PNPM. Alasan yang seakan-akan benar. Tetapi sesungguhnya, menafikan apa yang mereka buat pada masa lalu.

Maksudnya? Bukankah masalah itu, juga sudah terjadi pada masa lalu. Beberapa FK diterima karena ada titipan dari satker. Meskipun tak semasive sekarang. Tapi, ketika itu, mereka yang sekarang bercokol di Kemendes, berada di luar (depdagri).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun