Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Onta Arab, Sebuah Antitesa

21 Januari 2016   13:43 Diperbarui: 21 Januari 2016   16:08 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilstrasi Onta Arab (sumber gambar di sini)"][/caption]Ada yang khas dalam cara mengolok-olok mereka yang berpikiran “cenderung” pada Arab. Dengan menyebutkannya sebagai onta Arab.

Bahwa memang ada beberapa pelecehan, kalau memang bisa disebutkan demikian, juga merupakan sebuah fakta. Sebut saja misalnya, trompet tahun dari kertas sampul al-Qur’an, sandal yang bertuliskan ayat dari surat al-ikhlas, sajadah yang menggambarkan sesuatu yang berbau aurat terbuka, sajadah yang dipakai untuk alas menari. Yang paling mengenaskan, bahwa yang terakhir ini, dilakukan oleh Departemen yang mengatas-namakan agama.

Jika ada peristiwa makar, maka segera meluncur kesimpulan, adalah terror yang dilakukan oleh teroris. Teroris adalah identik dengan Islam. Ironisnya, hampir saja peristiwa Sudirman depan Sarinah tidak disebut terror, hanya karena pelakunya tidak memakai celana cingkrang dan berjenggot.

Seorang teman mengatakan, bahwa kecenderungan anti arab memang sedang mewabah, awalnya, bisa dengan anti Jilbab, anti jenggot, anti celana cingkrang, dan ujung-ujungnya, hasil yang akhir yang akan dituju, anti Islam.

Lalu apakah sebaiknya dilakukan oleh Umat Islam, dalam kondisi demikian?

Jika saja saya boleh mengutip perkataan Gus Dur, Gus Dur pernah mengatakan “Umat Islam sedang sedang mengalami Inferior Kompleks. Dengan rasa Inferiority yang dimilikinya, mereka suka sekali tersinggung, marah dan akhirnya melakukan tindakan yang kontra produktif”

Bahwa ketersinggungan, akibat orang lain melecehkan kita, adalah manusiawi. Tetapi, melakukan perilaku yang sama dengan yang mereka lakukan, adalah tindakan yang tidak bijak. Lalu, pertanyaannya, apa beda kita dengan mereka.

Bahwa setiap  penganut agama, meyakini bahwa agama mereka, adalah agama yang paling benar, adalah syah. Tetapi, bukan berarti, agama lain rusak, hancur dan tidak memiliki nilai-nilai agung. Bahwa kita puas dengan agama kita, bukan berarti menafikan bahwa agama orang lain tidak memuaskan penganutnya.

Ilustrasinya. Ketika anda puas dengan Mercy yang anda kendarai, adalah benar. Begitu pula sebaliknya, saya puas dengan Carry yang saya kendarai. Menjadi tidak benar, ketika anda mengolok-olok saya, bahwa carry yang saya kendarai sebagai mobil murahan, besi tua dan barang rongsokan. Nilainya, bukan dari apa yang keluar dari ucapan anda. Tetapi, dari balik yang anda ucapkan itu, terselip pesan. Bahwa anda tidak puas dengan Mercy yang anda miliki itu, hingga anda masih lirik kiri-kanan, lalu, memiliki waktu untuk menilai Carry yang saya kendarai.

Kembali pada ucapan Gus Dur, lalu bagaimana tindakan seorang yang bukan Inferority itu?

Saya hanya ingin menukilkan sebuah episode sejarah.

Ketika tentara Abrahah dengan pasukan Gajah dan tentara Infantery yang sangat modern dan lengkap sudah mengepung Mekkah, maka pasukan Abrahah, membuat terror pada penduduk Mekkah, diantaranya merampas 200 ekor Onta milik Abdul Muthalib sebagai pemimpin saat itu.

Selang beberapa hari kemudian, Abdul Muthalib, dipanggil untuk menghadap Abrahah. Di Kemah Abrarah, Abdul Muthalib ditanya Abrahah. Apa permintaan Abdul Muthalib, sebelum dia dan tentaranya menghancurkan Ka’bah? Abdul Muthalib menjawab, bahwa dia hanya menginginkan agar onta-ontanya kembali. Mendengar jawaban Abdul Muthalib, Abrahah kecewa. Mengapa pemimpin Mekkah, hanya memikirkan dirinya sendiri, bukan memikirkan agama dan masyarakatnya yang akan dia hancurkan. Abrahah kemudian bertanya kembali, mengapa demikian? Abdul Mthalibpun menjawab, jawaban Abdul Muthalib inilah yang kelak banyak disitir oleh para penulis dan pilosof. “Aku adalah pemilik onta-onta itu. Sementara Ka’bah, ada pemiliknya sendiri. Pemiliknya lah yang akan melindunginya”.

So, lakukan hal-hal yang baik saja, sebatas yang mampu dilakukan, kebaikan akan menemukan jalannya sendiri untuk memenangkan pertempuran. Ketidak-baikan, apapun itu dalil dan dalih nya, akan berakhir pada kehancuran itu sendiri.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun