[caption caption="Jalan Trans Sumatera Daerah Lubuk Linggau yang selalu sepi (dok. Pribadi)"][/caption]Ide pembangunan jalan Tol Trans Sumatera seakan indah, sebuah terobosan menghapus apa yang disebut ketertinggalan Sumatera terhadap Jawa. Benarkah pemikiran demikian? Atau malah sebaliknya? Pembangunan Tol Trans Sumatera justru membawa bencana bagi Sumatera. Atau paling tidak, dia tidak akan membawa pengaruh apa-apa bagi perbaikan ekonomi masyarakat kecil. Untuk itulah tulisan ini dibuat.
Beberapa waktu lalu, saya mengunjungi Lampung. Kebetulan, daerah tujuan, Bandar Jaya, daerah yang terlewati oleh rencana Tol Trans Sumatera. Dari pembicaraan yang saya tangkap, masyarakat yang tanahnya dibebaskan, menyimpulkan bahwa pembebasan lahan untuk Tol Tran Sumatera merugikan mereka. Nilai NJOP tanah mereka Rp. 100.000/M². Tetapi, mereka menerima ganti rugi pada nominal Rp. 30.000/M². Belum lagi, jika dihitung kerugian material yang berada di atas tanah mereka, seperti rumah dan tanaman yang nominal penggantiannya di bawah harga standard umum pasar yang berlaku.
Selain, kerugian di atas. Maka menurut hemat saya, kerugian-kerugian lain, akibat dibangunnya Tol Tran Sumatera sebagai berikut.
Satu, Biaya Ekonomi Tinggi Bagi Masyarakat Sumatera. Selama ini, semua masyarakat Sumatera tahu, jika biaya transportasi kendaraan umum, lebih mahal dari tarif yang berlaku di Pulau Jawa. Lalu, jika kendaraan umum itu, melalui jalan Toll, maka dapat dipastikan tariff Toll yang dibayarkan oleh kendaraan pengangkutan umum, akan dibebankan pada penumpang. Itu artinya, tarif yang sudah mahal itu, akan semakin mahal. Padahal semua tahu. Jalan-jalan trans Sumatera umumnya kosong. Jikapun tersendat. Maka hal itu terjadi, ketika memasuki kota-kota yang dilaluinya atau ketika melalui beberapa ruas jalan yang rusak. Solusi dari masalah ini, hanya dibutuhkan pembangunan jalan By Pass pada setiap kota dan memperbaiki ruas-ruas jalan yang rusak. Biayanya yang dibutuhkan untuk pembuatan jalan by pass dan perbaikan ruas jalan yang rusak, sangat kecil dibandingkan dengan pembangunan Toll trans Sumatera.
Dua, Tidak membawa perbaikan nasib bagi rakyat kecil. Belajar dari adanya rest are sepanjang jalan Toll yang berada di Pulau Jawa. Maka hal yang sama, akan terjadi kelak sepanjang Toll Trans Sumatera. Itu artinya, perputaran uang pada setiap res area hanya terjadi pada mereka yang memiliki kapital atau modal besar besar. Lalu, rakyat kecil dapat apa? Tak ada kontribusi bagi perbaikan ekonomi, untuk rakyat kecil sepanjang jalur Toll Tran Sumatera, kecuali menjadi buruh harian lepas pada rest are yang kelak akan menjamur sepanjang jalan Toll Trans Sumatera. Padahal, selama ini, berapa banyak kegiatan ekonomi masyarakat kecil yang hidup disebabkan lalu lalangnya kendaraan sepanjang jalan Trans Sumatera.
Tiga, Meningkatkan Kerawanan Keamanan dan Korban Lalu Lintas. Kondisi geografis antara Sumatera dan Jawa, dua hal yang berbeda. Demikian juga karakter masyarakatnya. Jika Toll Jawa, lokasinya berdekatan dengan kediaman penduduk serta jarak tempuh yang tidak begitu panjang. Maka, untuk Toll Trans Sumatera, bisa sebaliknya. Jauh dari pemukiman penduduk dan jarak tempuh yang demikian panjang. Dua kondisi demikian, akan menimbulkan kerawanan keamanan. Pada daerah kosong penduduk itu, bisa saja terjadi perampokan terhadap kendaraan yang lalu lalang, dank arena jarak tempuhnya yang jauh, maka akan sulit dideteksi oleh aparat keamanan yang berpatroli sepanjang jalan Toll Trans Sumatera.
Belajar dari jumlah korban yang tidak kecil pada Toll Cipali. Maka jumlah korban kecelakaan Toll Trans Sumatera akan jauh lebih besar. Hal ini, disebabkan panjang ruas jalan pada Toll Trans Sumatera akan jauh lebih panjang jika dibandingkan dengan Toll Cipali. Pertanyaannya, apakah nyawa korban bukan menjadi pertimbangan yang krusial bagi pemerintah sebelum memutuskan sebuah kebijakan? Belum lagi, bencana asap yang setiap menjadi bahaya laten bagi Sumatera. Bisa dibayangkan, jika kendaraan yang berada di jalan Toll dengan kecepatan tinggi, sementara jarak pandang sangat terbatas karena tertutup kabut asap. Apa akibatnya? Jika hal demikian terjadi, apa kata dunia?
Empat, Akan menimbulkan rasa cemburu. Mengingat kontur tanah dan kondisi geografisnya, maka rasanya akan mustahil untuk membuat Toll Trans Sumatera sepanjang Pulau Sumatera. Lalu pertanyaannya, bagi daerah-daerah yang tak mungkin dibuat Toll, apakah tidak akan menimbulkan kecemburuan sosial? Apa konpensasinya sebagai ganti karena pada daerah mereka tidak dimungkinkan dibangun jalan Toll Trans Sumatera? Ketidak tepatan dalam menyelesaikan masalah ini, akan menimbulkan hal yang kontra produktif. Padahal Philosofi awal dalam pembangunan Toll Trans Sumatera untuk meningkatkan produksi. Lalu, jika hasilnya kontradiktif dengan tujuan awal, untuk apa?
Beberapa Solusi
Jika pembangunan jalan Toll Trans Sumatera, lebih banyak menimbulkan masalah daripada menyelesaikan masalah, maka saya mengusulkan beberapa solusi sebagai berikut.
Satu, Jalur KA Trans Sumatera. Kereta Api di Sumatera sudah ada sejak zaman Belanda. Tapi sayangnya, jalur tersebut tidak terintegrasi ke setiap Provinsi. Boro-boro ada penambahan jalur, jalur yang ada saja, sudah banyak yang tidak aktif lagi. Padahal, Sumatera dengan hasil alam berupa hasil tambang yang melimpah dan hasil tanaman yang melimpah sangat membutuhkan transportasi. Sudah saatnya, pemerintah mengganti moda transportasi yang selama ini menggunakan Truk dan trailer menggantinya dengan Kereta Api. Bukan hanya, menghidupkan jalur-jalur KA yang telah mati selama ini, melainkan membangun jalur KA trans Sumatera. Jalur yang terintegrasi sepanjang dataran Sumatera.
Keuntungan yang dapat diperoleh, pemerintah dapat mengurangi biaya maintenance jalan raya Trans Sumatera yang telah ada, mempersingkat waktu perjalanan pengiriman barang, hingga biaya transportasi barang menjadi sangat bersaing. Disparitas harga barang antara Sumatera-Jawa dapat ditekan seminimal mungkin.
Dua, Mengurangi beban Selat Sunda. Sudah saatnya, beban kendaraan yang melewati selat Sunda dikurangi. Caranya? Semua barang yang telah beralih ke Angkutan Kereta Api, berakhir di Pelabuhan Panjang Lampung. Dari Pelabuhan Panjang Lampung, barang-barang ini dinaikkan ke kapal laut untuk selanjutnya dibagi pada dua pelabuhan laut besar. Jika tujuannya Jakarta, maka diturunkan di Pelabuhan Bojo Negara Banten, jika tujuan akhirnya Jawa Barat, Jawa Tengah maka diturunkan di Pelabuhan Kerawang. Akibat dari kebijakan ini, jalur Bandar Lampung – Bakauheni, dapat lebih longgar, demikian juga Pelabuhan Merak akan lebih longgar. Jarak tempuh antara Bojo Negara – Jakarta menjadi lebih dekat. Demikian juga untuk Jawa Barat.
Tiga, Membuka Pelabuhan Laut Yang Lebih Beragam. Dengan adanya jalur KA yang sudah terintegrasi sepanjang daratan Sumatera, maka Pelabuhan laut harus dipersiapkan untuk itu. seluruh hasil barang untuk daerah Jambi dan Sumatera Barat diangkut ke Pelabuhan Teluk Bayur untuk selanjutnya diangkut ke Jawa. Untuk Aceh dan Sumatra Utara ke Pelabuhan Belawan. Untuk Sumatera Selatan dan Lampung Ke Pelabuhan Panjang di Bandar Lampung. Untuk Pesisir Barat Sumatera dan Bengkulu ke Pelabuhan Bengkulu. Dengan demikian, maka arus perjalanan barang menjadi lancer dan dengan biaya murah. Gairah untuk meningkatkan hasil tanaman keras dan tambang jadi lebih hidup. Cita-cita mengidupkan Toll Laut seperti apa yang dicitakan Presiden Jokowi akan lebih mudah terwujud. Karena, semua sudah terintegrasi dan saling mendukung.
Apakah semuanya sesederhana itu? Tentu tidak, apa yang saya tulis, hanya sebagai wacana awal, yang masih perlu pendalaman oleh mereka yang disebut pakar. Tetapi, sebagai ide awal, saya percaya apa yang saya tulis ini mungkin untuk dilaksanakan, tentunya setelah mengalami perbaikan di sana-sini. InsyaAllah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H