Kisah dalam perjalanan
Siang itu, tepat jam 12 siang, KM Kelud perlahan-lahan meninggalkan Dermaga Belawan Medan menuju Jakarta. Pada lantai 3 Area tunggu penumpang, beberapa keluarga melepas kepergian anggota keluarga mereka ke Jakarta. “Beberapa tahun silam, bahkan ada keluarga yang melepas dengan melambai-lambaikan sapu tangan dan menangis” kata penumpang sebelah saya, ketika kami menyaksikan perpisahan ini. Susanya yang cukup mengharukan. Sayangnya, tak ada anggota keluarga saya yang ikut berdiri di sana untuk melepas kepergian saya.
[caption caption="Ruang makan penumpang kelas 2 KM Kelud (dok.Pribadi)"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/11/08/kelud-4-563eed82929373ba07a98550.jpg?v=400&t=o?t=o&v=555)
Jam 5 sore, waktunya makan. Kami, semua penumpang kelas ekonomi, dengan tertib, mengantri makanan di loket yang tersedia. Melelahkan memang. Tetapi, disinilah seninya sebagai penumpang kelas ekonomi. Ada kebersamaan yang semakin mengeratkan rasa persaudaraan sesama penumpang ekonomi. Sementara mereka, penumpang kelas 2, makan dengan cara dihidangkan pada ruangan yang telah disediakan di lantai 5. Menu makanan yang kami terima cukup baik, memenuhi standard 4 sehat 5 sempurna. Ada tambahan buah pada setiap acara makan.
[caption caption="Kafetaria KM Kelud di lantai 8, (dok.Pribadi)"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/11/08/kelud-5-563eedba929373b407a98551.jpg?v=400&t=o?t=o&v=555)
Ketika adzan Maghrib di Kumandangkan, beberapa penumpang, segera bergerak menuju Musholla yang berada di Buritan. Di Musholla Al-Azhar yang luas dan mewah itu, sholat Maghrib dan Isya secara berjamaah dilakukan.
Selesai acara sholat Maghrib dan Isya berjamaah dilakukan, beberapa penumpang kembali di deck kapal lantai tujuh itu, menghabiskan malam dengan duduk-duduk santai. Sementara nun jauh di daratan sana, beberapa cahaya masih dapat terlihat jelas. Untuk mereka yang memiliki cukup waktu atau mereka para pensiunan. Maka, perjalanan dengan KM Kelud merupakan perjalanan pesiar yang cukup menyenangkan.
[caption caption="Tanjung Balai Karimun dari kejauhan (dok.Pribadi)"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/11/08/kelud-6-563eede764afbd031241f845.jpg?v=400&t=o?t=o&v=555)
Esoknya, jam lima pagi, kembali sholat subuh berjamaah dilakukan di Musholla Al-Azhar. Selesai sholat subuh, beberapa penumpang berdiri di deck lantai 6, 7 dan lantai 8. Acara kali ini, menyaksikan sun rise, laut dihadapan kami pagi itu, begitu tenang. Sehingga, view yang tersaji pada sun rise pagi itu luar biasa indah. Sementara penumpang lain, ada yang jogging pada areal Jogging di lantai delapan. Kegiatan pagi itu, berakhir dengan sarapan pagi yang disediakan oleh KM Kelud.
Jam baru menunjukkan pukul Sembilan, ketika KM Kelud mulai merapat ke Tanjung Balai Karimun. Kapal tidak bisa sandar. Saya sendiri, tidak tahu alasan sebenarnya. Apakah disebabkan air laut yang sedang dalam keadaan tidak pasang atau di Tanjung Balai Karimun belum memiliki Dermaga untuk merapatnya kapal sebesar KM Kelud. Tetapi yang pasti, naik-turun penumpang dengan menggunakan sampan atau perahu kecil itu, mengingatkan saya pada kapal pengungsi Vietnam. Hari gini, bangsa Indonesia masih menggunakan perahu, untuk naik-turun penumpang? Apa kata dunia?
[caption caption="Naik-Turun Penumpang di Tanjung Balai Karimun (dok.Pribadi)"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/11/08/kelud-7-563eee137393739f1ee6e22d.jpg?v=400&t=o?t=o&v=555)