Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Maafkan Atau Hancur

17 Oktober 2015   11:49 Diperbarui: 17 Oktober 2015   11:49 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tiba-tiba saja, Melati, sebut saja begitu, mengajak saya mampir ke rumahnya, setelah acara halal bi halal keluarga besar itu selesai. Sebagai Abang yang dituakan, saya tentu menyanggupi. Permintaan Melati yang begitu mendesak, tentu ada yang hal yang urgen. Soalnya, ketika saya suruh ceritakan saja di acara halal bi halal itu, Melati menjawab, tak ingin merusak suasana acara. Jika nanti, tanpa bisa ditahan, bisa-bisa menangis.

Di rumahnya, Melati bercerita, bahwa dia sedang mengajukan proses perceraian pada sang Suami. Saya diminta saran, apa saja yang harus dilakukannya setelah itu? sebisa mungkin bisa menemaninya dalam proses perceraiannya.

Masih menurut Melati, Suaminya telah melakukan kesalahan delapan tahun yang lalu, menikah siri dengan wanita lain ketika Suaminya kerja di luar kota. Pernikahan siri itu, telah berakhir lima tahun lalu, ketika tugas Suaminya berakhir dan kembali ke kota dimana mereka kini berada.

Tak ada yang berubah pada Suaminya, hingga kini mereka memiliki cucu. Suaminya, type Suami ideal, tanggung jawab sama keluarga, sayang sama anak-anak dan Melati. Yang jadi masalah, mengapa Suaminya harus menceritakan “perselingkuhan” itu? kebohongan dan perselingkuhan itu, begitu menyakitkan. Membuat Melati terlukai, kesalahan yang tak bisa dimaafkan. Hingga akhirnya, melahirkan dendam. Kini, Melati sampai pada kesimpulan, harus bercerai.

Saya terhenyak. Begitu dahsyat akibat dari ketidak mampuan pasangan memaafkan kesalahan pasangannya. Pertimbangan usia perkawinan yang begitu lama, kasih dan sayang dan perhatian sang Suami selama kurun waktu puluhan tahun, tidak jadi pertimbangan lagi. Yang ada hanya rasa marah, marah yang dipelihara, hingga melahirkan sikap dendam. Ingin menghancurkan pasangan yang begitu lama hidup bersama. Bahkan sudah menua bersama-sama.

Sebuah hasil study yang dipublikasikan pada Journal of Family, yang bertajuk Forgiveness and Relationship Satisfaction, disebutkan bahwa, dalam suatu hubungan, kurangnya kemampuan untuk memberiikan maaf –memaafkan-, dapat mengakibatkan sulitnya tercapai penyelesaian konflik. Rendahnya kemampuan untuk memberi maaf, mampu menjadi pemicu munculnya emosi negative, dan berujung pada bertambahnya konfilk antar pasangan.

Idealnya, antara kedua pasangan berusaha keras untuk meningkatkan rasa rendah hati. Sehingga mampu menciptakan kemampuan untuk memberikan maaf. Masalahnya, jika kedua pasangan tidak memiliki kemampuan tersebut. Dapat berakibat sebagai,

  • Meningkatnya emosi negative dalam hubungan, seperti rasa marah dan sakit hati
  • Berkurangnya kemampuan untuk menikmati kemesraan hubungan antara kedua pasangan
  • Akibatnya, hubungan kedua pasangan dapat mengakibatkan rasa stress, depresi dan rasa cemas.
  • Mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa ketergantungan antara kedua pasangan. Rasa inilah yang sering memicu terjadinya perceraian antara kedua pasangan.

Lalu, bagaimana solusi jika terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan impian kedua pasangan, ketika mereka mengarungi bahtera rumah tangga? Solusinya tak ada yang dapat memuaskan kedua pasangan. Kecuali, jika kedua pasangan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan perubahan sikap dan cara pandang, seperti:

satu, Menyadari bahwa semua manusia pernah berbuat salah.

Katakana pada diri sendiri, apakah saya sempurna? Tidak pernah melakukan kesalahan?. Jika jawabannya tidak sempurna dan pernah berbuat salah. Maka, demikian juga halnya dengan pasangan saya. Jika saya salah dan berharap agar pasangan saya memberiikan maaf dan melupakan kesalahan saya. Maka, demikian juga yang diharapkan oleh pasangan saya.

Dua, Jangan mencari-cari kesalahan pasangan.

Ketika kita menyadari bahwa kita tidak sempurna. Tentu, ada sisi lemah yang ada pada diri kita. Sisi lemah yang ada pada diri kita itu, kita harapkan agar dimaklumi oleh pasangan kita. Agar pasangan kita mau memaafkan sisi lemah kita itu. Lalu, dengan usaha bersama menjadikan sisi lemah itu, menjadi penguat dalam rumah tangga. Jika, itu yang kita harapkan pada pasangan kita. Maka, demikian juga yang diharapkan oleh pasangan kita, pada kita. Oleh karenanya, hentikan mencari-cari kesalahan pada pasangan. Jadikan kelemahan pasangan sebagai ladang usaha yang menjadikan kita lebih dekat dengan dengan pasangan. Jika ada kesalahan, segera maafkan. Lalu, lupakan.

Tiga, Jangan Mengikuti Amarah..

Kita hanya manusia biasa. Memiliki sifat-sifat yang manusiawi juga, seperti marah dan lain-lain. Tetapi, kemarahan yang terus menerus, akan merugikan diri sendiri. Energi yang dikeluarkan untuk marah melebihi jauh energy untuk tersenyum. Tegangnya syaraf ketika marah membuat syaraf kita lelah dan menjadikan lebih cepat tua. Kemarahan yang diluar control kita, akan menyakitkan pasangan. Sakit yang meski sudah dimaafkan, akan tetap meninggalkan bekas. Sama halnya seperti luka pada kulit manusia. Meski sudah sembuh, bekas itu tetap ada. Mengapa kita tidak menahan amarah saja? Bayangkan, apakah kita suka jika dimarahi oleh pasangan kita. Jika kita tidak suka dimarahi oleh pasangan kita. Begitu juga halnya dengan pasangan kita.

Empat, Fokus pada cita-cita awal hubungan Suami isteri.

Semua pasangan yang berumah tangga, bercita-cita hidup bahagia, berbagi segala hal dalam suka dan duka, menjadi tua bersama dengan membesarkan buah cintanya sesuai dengan keinginan yang dicita-citakan. Jika terjadi konflik, segera maafkan. Tanyakan pada diri sendiri, kerikil konflik itu, apakah sebanding dengan segala pencapaian yang anda berdua hasilkan selama ini. Apakah kerikil itu, akan menggelincirkan bahtera bahagia yang kita cita-citakan selama ini?

Jika sudah sampai pada kesimpulan untuk mengakhiri rumah tangga. Pikirkan kembali, apakah kita mampu untuk memulai kembali rumah tangga, seperti yang kita cita-citakan. Ketika, usia sudah tidak muda lagi. Apakah pasangan kita kelak, akan sebaik dengan pasangan kita yang sekarang, memiliki pola pikir sama dengan kita. Memiliki kemampuan memaafkan masa lalu kita. Mampu menyayangi buah cinta kita seperti pasangan kita sekarang. Jika jawabnya belum tentu. Maka, berhentilah berpikir untuk menyudahi rumah tangga. Maafkan pasangan anda dengan setulus hati atau anda akan hancur…. Walahu A’laam.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun