“Itulah masalahnya, orang yang masak ini, bukan orang Kampung kita”
“lalu siapa? Orang mana?” tanyaku polos, tak tahu apa maksudnya semua ini.
“Dia keponakan Sutan Batuah, anak dari kakak istri Sutan Batuah yang tinggal di Jakarta” kata Mande menjelaskan siapa yang memasak lauk yang dikirim ke Mandeh selama lima hari ini. “kata Sutan Batuah, tester terbaik untuk mengetahui, masakan itu, enak apa tidak, adalah Mande. Jika kata Mande enak, maka enaklah masakan itu, jika kata Mande tidak, maka tidak enaklah masakan itu” lanjut Mande.
Aku hanya bengong, sejak kapan Mandeh menjadi tester terbaik di kampung ini. Aku yang anaknya saja gak tahu tentang itu.
“Keponakan Sutan Batuah sengaja pulang ke kampung untuk belajar masak. Waktunya gak lama. Hanya tinggal empat hari lagi, karena cuti yang dia ambil hanya dua belas hari” lanjut Mande. Aku hanya mengangguk, membiarkan mande memuji keponakan Paman Sutan Batuah, tokh mendengarkan Mande cerita, hingga menjadikan dirinya berarti, bagian dari tugas seorang anak. Ada saatnya, untuk menyenangkan orang tua, seorang anak hanya perlu untuk diam dan mendengar dengan sepenuh hati.
“Kalau sesudah Maghrib nanti, wa’ang gak ada kegiatan menulis, Mande minta wa’ang temenin mande ke rumah Sutan Batuah” kata Mandeh lagi. Bagiku, kata Mande terakhir itu, bukan pertanyaan. Melainkan sebuah perintah. Tak ada alternative jawabannya, selain siap.
“Siap Mande… “
****
Aku dan Mande, telah tiba di rumah Paman Sutan Batuah. Isterinya menyambut kami dengan ramah, Paman masih asyik mengaji di kamarnya. Begitulah kebiasaan Paman Sutan Batuah, sepulang Sholat berjamaah di Mesjid, pulang ke rumah, lalu mengaji hingga waktu Isya. Tak lama, beliau berhenti mengaji, lalu menemui mande.
“hehehe.. Uni” kata paman, membungkuk menyalami Mande.
“iyo…Sutan. Sehat semua?” tanya Mande.