Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hadiah Hijrah Untuk Mande

14 Oktober 2015   22:36 Diperbarui: 14 Oktober 2015   23:13 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Denger Zon, aku anak semata wayang dari Mande. AKu ingin menyenangkan Mande secara paripurna. Bisakah Ida membuat masakan kesukaan Mande? Membuat samba tanak, membuat samba uok? Lado hijau? Kalio?”

“hahahaha…. Lucu..lucu. Manapula ada eksekutif muda, di perusahaan Agro besar di Jakarta ini, akan membuat semua samba-samba dan gulai seperti yang kamu sebut itu untuk sang mertua” ngakak Afrizon mendengar persyaratan yang aku kemukakan. “kamu kan bisa bawa orang kampungmu, untuk membuat segala masakan yang kamu sebut itu Man” sambung Afrizon lagi.

“Artinya, kamu ingin katakan, bahwa Ida gak mampu membuat semua itu kan?” kataku lagi.

“Tapi… dia cantik Man. Ida juga pintar”

“Kalau soal cantik, banyak orang di kampungku yang secantik Ida, Zon. Mungkin, udara segar yang mereka hirup setiap hari itu, yang membuat mereka cantik-cantik. Soal pintar, itu relative zon. Buktinya, Ida gak bisa masak, dengan masakan yang aku sebut tadi”

‘hahaha…. Konyol-konyol…”

Semua percakapan-percakapan, enam bulan lalu dengan Afrizon, Assistenku sekaligus teman kuliahku di IPB dulu, kembali naik kepermukaan memory ini. semua seakan baru saja kami bincangkan. Sementara kendaraan yang kunaiki, sudah mendekati rumah Mande.

****

Udara sore ini, sungguh segar, siang tadi aku sudah menyemai benih Pala unggul, jika saja hasilnya sesuai dengan teori yang aku pelajari dan aku kembangkan selama ini, maka khayalan aku akan menjadi kenyataan. Daerahku akan menjadi penghasil buah Pala terbaik di Sumatera. Sementara Aren yang kutanam dua tahun lalu, perkembangannya cukup menggembirakan. Aku berharap, ikon “gulo lawang” akan tetap melegenda di daerahku, meski bahan dasarnya bukan dari tebu. Melainkan dari hasil panen buah Aren.

Mande sejak kepulanganku, makin sehat saja. Agaknya, perkiraanku dulu benar. Seringnya Mande sakit karena rindu sama anak semata wayangnya. Mesti anaknya, lulus cum laude di IPB dan mendapat posisi yang baik di perusahaan Agro besar di Jakarta. Namun, semua itu hanya “mengimbaskan” kebanggaan saja. Tetapi, yang dirasa Mande sesungguhnya. Kesepian yang makin akut. Bagaimana tidak. Rumah Gadang itu kini sepi. Dan, hektaran tanah yang subur itu hanya dikerjakan oleh tenaga harian lepas. Fungsinya untuk menunjang sekolah anak semata wayang sudah lewat. Karena, anak semata wayang itu, kini sudah menjadi orang di Jakarta.

Aku baru saja duduk di sebelah Mande, di teras rumah gadang itu, ketika Sam anak dari Paman Sutan Batuah datang membawa rantang. Isinya, samba tanak, masakan kesukaan Mande. Ada apa ini? sudah lima hari ini, Mande tidak masak. Kami makan, selalu dengan kiriman lauk yang dibawa oleh Sam, anak Paman Sutan Batuah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun