Jika pada umumnya orang menanti dan memuja hujan pertama di bulan Juni, tidak demikian dengan Juniati. Ia selalu menanti hujan ke tiga belas di setiap bulan Juni dengan jantung berdebar seperti dentum speaker di tempat orang hajatan. Ya, benar, hujan ke tiga belas!
Bukan karena Juniati dilahirkan di bulan Juni, melainkan ada hal istimewa yang dinantinya, seseorang yang menjanjikan datang menemuinya di hujan ke tiga belas di bulan Juni. Lelaki itu, Junianto namanya. Ia bertemu dengannya di sebuah perhelatan Juni-Juni, perkumpulan khusus orang-orang bernama Juni yang dilahirkan di bulan Juni. Perhelatan seperti ini di kemudian hari diikuti dengan perkumpulan Agus-Agus, sama, khusus untuk orang bernama Agus yang dilahirkan di bulan Agustus.
Di perhelatan itu, Juniati berkenalan dengan seorang lelaki tampan berwajah tirus. Garis mukanya sangat tegas. Matanya setajam elang. Senyum yang keluar dari bibirnya yang menghitam oleh isapan rokok itu sangat menawan. Sedikit kata saja yang keluar. Irit, malu, atau risih. Entah. Yang jelas, hati Juniati langsung tertaut dalam pandangan pertama, dalam detik pertama.
Tak ada percakapan yang mengarah ke manapun. Mereka hanya bertukar nama saat berjabat tangan sebelum dimulai acara. Selanjutnya hanyalah diam, diam-diam berkelana dalam alam khayal. Juniati mengkhayal, lelaki itu mendekat, duduk di sampingnya.
"Adakah ruang di hatimu tersedia untukku?" Junianto menggenggam jemari Juniati. Tangannya kasar khas lelaki. Tapi ia suka, menandakan ia lelaki sejati yang tangguh, bukan lelaki yang menyek dan manja.
"Aku sudah tak punya hati. Ia dibawa pergi ke negri yang jauh. Aku tak pernah merasakannya lagi."
"Hati itu sudah pulang, sekarang. Rasakanlah."
Junianto mengambil tangan Juniati, menuntunnya ke perutnya, sedikit menekan. Juniati memejamkan mata. Ia menghirup napas dalam. Jiwanya serasa ringan. Ia bisa merasakan setiap aliran darahnya. Ia mendengar detak jantungnya. Ia merasakan gerakan lambungnya. Ia merasakan ... Ada hati lengkap dengan empedu yang menempel padanya. Ia menjerit bahagia. Dipeluknya lelaki itu dengan derai air mata suka-cita.
"Terima kasih, Junianto."
Lalu keduanya terlibat dalam percakapan romantis sepasang kekasih. Bicara tentang masa depan. Rumah kayu kecil di atas gunung berpayung awan. Selusin anak yang menghela kambing di padang rumput luas membentang.
Perhelatan selesai. Lamunan Juniati ikut selesai. Para peserta membubarkan diri. Pun Juniati. Tapi urung, hujan turun dengan deras sepanjang perhelatan belum juga reda.
"Tunggu aku di hujan ke tiga belas di bulan Juni. Seperti hari ini." Lembut suara Junianto berbisik di telinga Juniati. Juniati menoleh. Ia menatap mata elang itu, lalu mengangguk mengerti.
Sejak saat itulah, Juniati selalu menunggu bulan Juni. Menunggu hujan ke tiga belas. Ia selalu mencatat setiap detil hujan yang turun. Waktu dan durasi yang persisi, intensitas, geledek, petir, banjir, mati lampu, dan setiap hal yang terjadi di setiap hujan di bulan Juni. Hujan pertama, kedua, dan seterusnya. Namun hanya lima hujan yang datang di Juni itu.
Juniati kecewa, karena si mata elang pasti tak akan datang. Ia kembali mencatat hujan di Juni berikutnya, berikutnya, berikutnya ..., hingga tahun ini Juni ke tiga belas. Namun belum pernah ada hujan ke tiga belas.
Malam ini adalah malam terakhir di bulan Juni. Dalam catatan Juniati, hujan ke dua belas sudah terjadi seminggu yang lalu. Padahal ia sudah bersorak-sorak. Peluang untuk datangnya hujan ke tiga belas sangat besar. Mendung menggayut hampir setiap waktu. Geluduk sering terdengar menggelegar. Namun rupanya awan hitam pekat itu hanya menggodanya saja. Ia tertawa-tawa melihat Juniati yang memandangnya penuh harap, lalu kecewa. Awan hitam pekat hanya mempermainkannya saja!
Pukul sepuluh malam. Awan hitam pekat sudah puas mempermainkan Juniati. Ia sudah pergi. Langit kini terang benderang penuh bintang-gemintang. Sang Beruang Besar Ursa Mayor mengaum di langit utara.
"Kamu benar, sudah seharusnya aku menyerah." Ucap Juniati pada Ursa Mayor.
Kedua mata Ursa Mayor berkedip-kedip. Ia setuju. Juniati menutup buku catatannya. Ia meletakkan buku catatannya di atas meja, di samping peraduannya. Catatan hujan itu adalah catatan terakurat yang pernah ada. Semua data tentang hujan di bulan Juni tertulis dengan rapi, detil, konsisten, dan persisten. Bahkan akurasi catatan Juniati jauh melampaui catatan lembaga cuaca di kotanya.
Seorang pegawai Lembaga Cuaca pernah melihat catatannya. Lalu ia melapor pada atasannya. Kepala Lembaga meminjam catatan itu untuk diunggah di situsnya sebagai laporan bulanan. Bukan main respon para warganet membacanya. Mereka memuji-muji dan mengelu-elukan laporan itu. Mereka takjub dengan detilnya laporan hujan itu. Lembaga Cuaca kebanjiran pujian di kolom komentar semua media sosialnya. Ribuan sanjungan dan ratusan ribu, bukan, jutaan jempol untuk laporan itu.
Tapi warganet yang maha benar itu menarik jempolnya satu-persatu. Jempolnya hilang secara masif. Mereka curiga laporan itu sebenarnya bukan buatan Lembaga Cuaca. Akurasinya sangat berbeda dengan laporan-laporan di sebelas bulan lainnya. Pasti ada orang di balik laporan itu, bukan karyawan lembaga itu.
Para warganet mempertanyakan di kolom komentar. Jawaban lembaga tetap sama; laporan karyawan! Para warganet yang marah mengamuk di media sosial. Bukan hanya di media sosial saja, tanpa diprakarsai, mereka berkumpul di depan kantor pusat lembaga itu. Puluhan ribu orang menyesaki halaman. Sebagian tumpah ke jalan, sebagian menyesaki gedung-gedung di sekitarnya. Mereka hanya menuntut transparansi, siapakah orang di balik laporan hujan di bulan Juni itu.
Kepala Lembaga tetap bungkam. Ia tak menemui para demonstran. Tentu, ia tak akan membeberkan identitas Juniati. Itu sudah menjadi perjanjian antara Juniati dengan Kepala Lembaga.
"Penulis laporan itu pemuja hujan! Cari semua orang yang pernah mengunggah puisi, cerpen, esai, apapun di internet! Pakai kata kunci hujan di bulan Juni. Cari siapa saja mereka. Interogasi mereka. Dia pasti salah satu dari mereka!" Seorang lelaki berbadan kekar berkulit legam memerintah. Suaranya kencang menggelegar melalui speaker raksasa yang dipasang di setiap sudut halaman.
Para warganet bubar. Sibuk mengecek gawai masing-masing. Mereka kalap menelusuri setiap warganet yang mengunggah apapun tentang hujan di bulan Juni. Tapi hasilnya nol. Tentu nol, karena Juniati tak pernah bersinggungan dengan media sosial. Dia tak suka, apapun alasannya.
***
Juniati berbaring di atas peraduannya. Terlentang memandang langit-langit kamar. Seraut wajah terlukis di sana. Wajah tirus dengan garis muka yang tegas. Bibir yang menghitam karena isapan rokok. Matanya setajam elang. Juniati bangkit, ia hendak mengulurkan tangannya menggapai wajah itu. Namun ia kecewa, karena wajah itu sudah menghilang sebelum ujung jemarinya menggapainya.
Lemah badannya terkulai di atas bantal. Lemah pula hatinya. Hati yang dulu pernah dibawa seseorang pergi ke negeri yang jauh, lalu pulang begitu saja di hari pertemuan dengan lelaki bermata elang itu. Kini ia tak lagi merasakan hatinya di situ. Pergi jauh dibawa hujan ke tiga belas di bulan Juni.
Mata Juniati kian berat. Akhirnya ia tak kuasa menahannya. Dewa mimpi tak sabar menjemputnya. Ia membawa Juniati terbang ke angkasa. Melayang di antara bintang. Juniati hinggap di rasi Ursa Mayor. Melompat dari atas kepala sang beruang ke badannya, ke ekornya, lalu bergelantungan di sana. Berayun-ayun sambil bernyanyi. Para bidadari penghuni bulan beterbangan mencari arah suara nyanyian, lalu mereka membentuk formasi, menari seirama lagu.
Sekonyong-konyong terdengar suara rintik hujan. Juniati berhenti bernyanyi. Dia mendengarkan dengan seksama. Para bidadari bubar, kembali ke istananya di bulan. Rintik hujan semakin deras. Juniati terbangun. Ia melompat dari tempat tidurnya, melihat keluar jendela yang terbuka. Hujan! Benar, hujan! Ia turun dengan deras. Juniati tertegun sesaat sebelum menyambar buku catatannya.
Hujan ke tiga belas di bulan Juni, pukul 23.30. Entah sudah berapa lama, aku sudah tertidur ketika hujan ini turun. Ya, akhirnya hujan yang kutunggu ini datang juga. Akankah si mata elang memenuhi janjinya?Â
Dinyalakannya komputer di atas meja. Dia bersiap mengirim surat elektronik kepada Kepala Lembaga Cuaca. Diputuskannya, ia tak akan mengirimkan catatannya lagi ke lembaga itu. Catatan ini sama sekali tidak akurat karena ia tak melihat rintik pertama hujan ini.
Sebuah pesan masuk ke dalam surelnya satu menit yang lalu. Dari Kepala Lembaga Cuaca. Pasti Pak Kepala sudah tak sabar menunggu laporan itu. Tebakannya salah, bukan itu yang disampaikan.
Tak perlu kau kirimkan laporan hujan ini. Aku akan mengambilnya sendiri.
Kapan? Di mana? Balas Juniati cepat.
Hanya sepersekian detik, suratnya mendapat balasan lagi.
Keluarlah!
Juniati terhenyak. Ia mengamati sekali lagi isi surel itu. Meyakinkan dirinya bahwa ia tak salah baca. Ini benar surel resmi milik Lembaga Cuaca yang biasa ia gunakan untuk berkorespondensi. Selama ini begitulah caranya ia mengirimkan catatan itu.
Hujan kian deras. Langit bergemuruh. Guntur menggelegar. Juniati berjalan keluar kamarnya. Sedikit dibukanya tirai jendela. Ia melihat bayangan seorang lelaki memakai jas hujan model kelelawar berwarna biru gelap berjalan menembus derasnya hujan. Lelaki itu menuju ke teras rumahnya. Wajahnya tak begitu jelas karena tertutup tudung jaketnya. Ia tak mengetuk pintu, karena ia sudah melihat Juniati mengintip dari balik tirai jendela. Lelaki itu berdiri menghadap ke jalan. Melepas jas hujannya, menyampirkannya di paku yang tertancap pada tiang rumah. Badannya tinggi. Rambutnya ikal. Lalu ia duduk di kursi kayu tanpa membalikkan badan.
Pintu rumah berderit oleh dorongan Juniati. Ia melangkah perlahan. Ia tak tahu siapa lelaki itu. Tapi ia yakin, orang itu bukan orang jahat. Bisa jadi ia adalah Kepala Lembaga Cuaca. Bukankah ia bilang akan datang menjemput catatan itu? Secepat itukah? Belum semenit ia mengirim surel, kini lelaki itu sudah sampai di teras rumahnya. Dari mana ia mengirim surat tadi? Dan bagaimana pula ia tahu rumahnya? Bukankah selama ini Juniati hanya menggunakan surel dengan nama pengguna palsu dan identitas palsu? Bukankah ia menyembunyikan identitas aslinya? Bagaimana Kepala Lembaga Cuaca mengetahui dirinya dan alamatnya? Oh, ini pasti karena kecanggihan teknologi.
Lelaki itu sama sekali tak berbalik meski langkah Juniati mendekat menimbulkan suara.
"Aku datang." Ucap lelaki itu. Suaranya, Juniati sama sekali tak lupa. Suara yang sangat dirindukan olehnya, yang terakhir di dengarnya tiga belas Juni lalu. Lelaki itu berbalik badan, menatap Juniati yang terpaku di tempatnya. Kilat yang berpijar sangat terang menerangi dada lelaki itu. Baju hemnya berwarna biru muda dengan banyak label di dada dan bahu. Di atas saku kirinya, ada nama tertera di sana, J-U-N-I-A-N-T-O. Apakah benar dia Junianto? Si mata elang yang berjanji akan datang di hujan ke tiga belas di bulan Juni?
Pijaran kilat berikutnya menerangi wajahnya. Tak ada garis muka yang tegas, tak ada rahang yang keras, tak ada mata yang bersinar seperti elang. Hanya bibir yang menghitam karena isapan rokok. Lelaki itu membuka kedua tangannya lebar-lebar. Ia menyambut Juniati menghambur ke pelukannya. Tapi Juniati tak bergerak. Sungguh, ia ingin melangkah ke dalam pelukan lelaki yang matanya tak setajam elang lagi itu. Tapi kakinya mendadak susah digerakkan. Ketiga anaknya memeluknya erat.
***
Selesai.
Semarang, Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H