Kapan? Di mana? Balas Juniati cepat.
Hanya sepersekian detik, suratnya mendapat balasan lagi.
Keluarlah!
Juniati terhenyak. Ia mengamati sekali lagi isi surel itu. Meyakinkan dirinya bahwa ia tak salah baca. Ini benar surel resmi milik Lembaga Cuaca yang biasa ia gunakan untuk berkorespondensi. Selama ini begitulah caranya ia mengirimkan catatan itu.
Hujan kian deras. Langit bergemuruh. Guntur menggelegar. Juniati berjalan keluar kamarnya. Sedikit dibukanya tirai jendela. Ia melihat bayangan seorang lelaki memakai jas hujan model kelelawar berwarna biru gelap berjalan menembus derasnya hujan. Lelaki itu menuju ke teras rumahnya. Wajahnya tak begitu jelas karena tertutup tudung jaketnya. Ia tak mengetuk pintu, karena ia sudah melihat Juniati mengintip dari balik tirai jendela. Lelaki itu berdiri menghadap ke jalan. Melepas jas hujannya, menyampirkannya di paku yang tertancap pada tiang rumah. Badannya tinggi. Rambutnya ikal. Lalu ia duduk di kursi kayu tanpa membalikkan badan.
Pintu rumah berderit oleh dorongan Juniati. Ia melangkah perlahan. Ia tak tahu siapa lelaki itu. Tapi ia yakin, orang itu bukan orang jahat. Bisa jadi ia adalah Kepala Lembaga Cuaca. Bukankah ia bilang akan datang menjemput catatan itu? Secepat itukah? Belum semenit ia mengirim surel, kini lelaki itu sudah sampai di teras rumahnya. Dari mana ia mengirim surat tadi? Dan bagaimana pula ia tahu rumahnya? Bukankah selama ini Juniati hanya menggunakan surel dengan nama pengguna palsu dan identitas palsu? Bukankah ia menyembunyikan identitas aslinya? Bagaimana Kepala Lembaga Cuaca mengetahui dirinya dan alamatnya? Oh, ini pasti karena kecanggihan teknologi.
Lelaki itu sama sekali tak berbalik meski langkah Juniati mendekat menimbulkan suara.
"Aku datang." Ucap lelaki itu. Suaranya, Juniati sama sekali tak lupa. Suara yang sangat dirindukan olehnya, yang terakhir di dengarnya tiga belas Juni lalu. Lelaki itu berbalik badan, menatap Juniati yang terpaku di tempatnya. Kilat yang berpijar sangat terang menerangi dada lelaki itu. Baju hemnya berwarna biru muda dengan banyak label di dada dan bahu. Di atas saku kirinya, ada nama tertera di sana, J-U-N-I-A-N-T-O. Apakah benar dia Junianto? Si mata elang yang berjanji akan datang di hujan ke tiga belas di bulan Juni?
Pijaran kilat berikutnya menerangi wajahnya. Tak ada garis muka yang tegas, tak ada rahang yang keras, tak ada mata yang bersinar seperti elang. Hanya bibir yang menghitam karena isapan rokok. Lelaki itu membuka kedua tangannya lebar-lebar. Ia menyambut Juniati menghambur ke pelukannya. Tapi Juniati tak bergerak. Sungguh, ia ingin melangkah ke dalam pelukan lelaki yang matanya tak setajam elang lagi itu. Tapi kakinya mendadak susah digerakkan. Ketiga anaknya memeluknya erat.
***
Selesai.