Pemerintah Indonesia dibawah  Kepemimpinan Presiden Jakowi, dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia , berusaha membangun sarana dan prasana pendidikan, baik itu sarana pendidikan formal maupun non formal. Sejak  tahun 2009 atau sejak  Pemerintah Indonesia  dipimpin SBY,  Anggaran untuk sektor Pendidikan hingga 20 %, hal itu memang amanat UUD pasal 31 ayat 4 UUD Negara RI 1945 mengamanatkan pengalokasian anggaran sebesar 20 %, baik alokasi melalui intervensi anggaran pemerintah pusat yaitu APBN atau APBD Pemerintahan Kabupaten/Kota.Â
Hal itu  artinya Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kab/kota, penuh perhatian terhadap  peningkatan mutu Pendidikan dalam rangka untuk meningkatkan  kualitas SDM di  Indonesia. Sektor pendidikan memang sangat membutuhkan dana yang cukup  besar, mengingat setiap anak wajib untuk belajar/sekolah, dari SD s/d SLTA.Â
Dan untuk memenuhi keperluan tersebut tentunya Pemerintah melalui  Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi/Kabupaten, memprioritaskan pada pembangunan sarana dan prasarana belajar mengajar seperti Gedung/ruang kelas termasuk meja, kursi para siswa dan guru.Â
Kemudian, pada prioritas peningkatan kualitas guru atau tenaga kependidikan lainnya. Tetapi ada salah satu sarana yang terkadang terabaikan, tetapi ini seharusnya menjadi prioritas utama yaitu Perpustakaan sekolah yang harus ada disetiap sekolah. Padahal sarana  pembangunan Gedung/ruang perpustakaan juga  perlu dibangun di setiap satuan pendidikan, baik itu SD, SLTP, SLTA bahkan di PGT, seperti telah diamanatkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang system Pendidikan nasional.
Gedung/ruang perpustakaan di tiap sekolah mutlak diperlukan, jika memang tenaga guru dan siswanya mau meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Kondisi sekarang pada umumnya, sarana membaca dan belajar masih kurang diperhatikan, dan apabila hal ini terus dibiarkan, tentu akan memperlambat menciptakan generasi berkualitas.Â
Hal ini membuat konsewensi logis untuk menghadirkan Perpustakaan di setiap jenjang pendidikan, agar ditiap sekolah wajib ada perpustakaan sekolahnya. Mengingat selama ini, perhatian kepada pendirian perpustakaan masih dipandang sebelah mata. Kita maklumi memang membangun suatu perpustakaan membutuhkan dana yang tidak sedikit, karena harus dilengkapi dengan koleksi perpustakaan, fasilitas perpustakaan dan yang tak kalah pentingnya  yaitu memerlukan tenaga pengelola yang terdidik dibidangnya.
Berdasarkan hasil pemantauan penulis kelapangan, bila melihat kondisi umum perpustakaan sekolah, terutama perpustakaan SD masih sangat memprihatinkan, baik yang ada di kota, kabupaten bahkan lebih  parah sekali  SD yang ada dipadesaan, tidak  ditemukan itu namanya Gedung/ruang perpustakaan.
 Yang ada hanya tumpukan buku lama, yang tersimpan disudut ruangan kelas atau ruangan guru. Apabila memperhatikan kondisi seperti tersebut, sangat memprihatinkan sekali pendidikan di Negara kita ini. Padahal  sebenarnya salah satu sarana penting, untuk menambah dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa dan guru adalah adanya sarana informasi (perpustakaan sekolah) itu,  bagaimana mungkin kualitas siswa bisa  meningkat bila tanpa didukung sarana untuk belajar dan sarana untuk membaca.Â
Bagaimana mempersiapkan generasi gemar belajar dan gemar membaca sejak usia dini, kalau saja  perpustakaan sekolah saja tidak ada. Padahal dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, keberadaan sarana dan prasarana perpustakaan ditiap sekolah diwajibkan. Karena perpustakaan merupakan  merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan, melalui pemanfaatan dan pendayagunaan koleksi perpustakaan sekolah itu.
Memperhatikan hal seperti itu, seyogyanya  prioritas penganggaran untuk membangun gedung perpustakaan sekolah jangan terlupakan. Bila setiap pemangku kebijakan  bidang Pendidikan di sekolah, memahami ketentuan  UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, seperti dijelaskan dalam pasal 23 dijelaskan sebagai berikut;
(1) Setiap sekolah/madrasah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan.
(2) Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki koleksi buku teks pelajaran yang ditetapkan sebagai buku teks wajib pada satuan pendidikan yang bersangkutan dalam jumlah yang mencukupi untuk melayani semua peserta didik dan pendidik.
(3) Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan koleksi lain yang mendukung pelaksanaan kurikulum pendidikan.
(4) Perpustakaan sekolah/madrasah melayani peserta didik pendidikan kesetaraan yang dilaksanakan di lingkungan satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5) Perpustakaan sekolah/madrasah mengembangkan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
(6) Sekolah/madrasah mengalokasikan dana paling sedikit 5% dari anggaran belanja operasional sekolah/madrasah atau belanja barang di luar belanja pegawai dan belanja modal untuk pengembangan perpustakaan.
Berdasarkan ketentuan pasal 23 terutama ayat 6, minimal sekolah menganggarkan minimal 5 % dari anggaran biaya sekolah untuk pengembangan perpustakaan. Jadi apabila suatu sekolah SD tidak ada perpustakaan sekolahnya dan tidak mengalokasikan anggaran untuk perpustakaan hal itu merupakan suatu pelanggaran terhadap ketentuan UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.  Seperti dinyatakan dalam UU Perpustakaan,  pasal  52, disebutkan semua Lembaga penyelenggara perpustakaan yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 23 dikenai sanksi administratif.
Hal itulah yang harus dipahami oleh semua pihak yang terkait dibidang penyelenggaraan Pendidikan sekolah seperti  Pemda, Dinas Pendidikan dan kebudayaan Provinsi/kabupaten/kota termasuk Kepala Sekolahnya. Karena seharusnya setiap penyelenggaraan Pendidikan mulai dari tingkatan SD hingga Sekolah Tinggi atau Perguruan Tinggi harus ada perpustakaannya. Jika penyelenggara Pendidikan sekolah tidak menyediakan perpustakaan, sebenarnya peserta didik (pelajar) termasuk orangtua, dapat menuntut pihak sekolah karena di sekolah tidak menyelenggarakan perpustakaan. Hal ini dapat membawa konsekwensi logis, karena tuntutan jaman menghendaki keterbukaan informasi, kemudahan mengakses informasi, menggunakan informasi untuk memenuhi keperluan studinya.
Hubungan dengan hal di atas, berdasarkan data kemendikbud pada tahun 2018, penulis mengutip artikel Fransina Natalia Mahudin  di  indonews, tanggal 25/6/2019. Persebaran pencapaian indicator Pendidikan masih didominasi oleh wilayah Jawa. Hal ini ditunjukan dari ketersediaan perpustakaan dan sekolah di wilayah Maluku, Nusa Tenggara dan Papua menunjukan tingkat disparitas dengan wilayah Jawa dan Sumatra.Â
Pada Wilayah Timur rasio ketersediaan perpustakaan dengan sekolah masih dibawah angka 1. Pada jenjang SD 0,36 dan SMP 0,67 serta SMA/SMK 0,76. Papua sendiri masih mencapai 0,36 artinya terdapat 70 % sekolah yang belum memiliki perpustakaan sebagai factor penunjang proses pembelajaran. Â Sedangkan jika dilihat pada wilayah Jawa dan Sumatra telah mampu memenuhi ketersediaan perpustakaan untuk mendukung aktifitas pembelajaran sebesar di atas 70 % untuk SD, di atas 80 % untuk SMP dan mendekati 90 % untuk SMA/SMK. Artinya telah banyak sekolah yang sudah memiliki perpustakaan yang memadai untuk mendukung proses pembelajaran.
Jadi kalau kita melihat data di atas, kita bisa membayangkan sendiri bagaimana minat dan budaya baca pelajar mau tumbuh dan meningkat jika perpustakaan tidak ada. Â Kalaupun ada juga perpustakaan sekolah, koleksi buku yang disimpannya terbatas jumlahnya. Jadi bagaimana pelajar itu mau membaca, buku yang mau dibaca yang semestinya ada diperpustakaan juga tidak ada. Jadi rendahnya minat baca/budaya itu sebenarnya lebih di akibatkan karena di sekolah kurang sekali disediakan fasilitas untuk membaca. Jadi bagaimana mau meningkatkan rengking literasi membaca dari nilai 371, kalau saja kondisi perpustakaan sekolahnya saja kurang bahan bacaan.
Berdasarkan data sensus Perpustakaan Nasional  tahun 2018,dapat dirangkum jumlah perpustakaan secara nasional, ( Sumber data : Perpusnas) sebagai berikut:
Berdasarkan tabel diatas jumlah perpustakan sekolah di Indonesia 113.541, terdiri Perpustakaan SD/MI 76.063, Perpustakaan SMP/MTs 19.995, Perpustakaan SMA/SMK/MA 17.483. Dari jumlah Perpustakaan sekolah 113.541 itu, secara kuantitas sudah lumayan banyak, tetapi secara kualitas pengelolaan umumnya masih banyak perpustakaan sekolah penyelenggaraan belum memenuhi standar nasional perpustakaan sekolah. Dari  hasil pemantauan dilapangan umumnya permasalahannya dari kurangnya jumlah koleksi, tidak ada tenaga yang tetap, atau tidak ada tenaga pustakawan, perpustakaan belum mengembangan layanan berbasis teknologi dan informasi, penganggarannya kurang jelas.
Jika memperhatikan ketentuan sebagaimana tercantum dalam ketentuan UU Perpustakaan tersebut, alokasi untuk pengembangan koleksi perpustakaan sekolah saja sekurang-kurangnya 5 % dari anggaran sekolah. Jadi sekarang bagaimana upaya dari Kemendiknas, Pemda yang membawahi Dinas Pendidikan dan kebudayaan Provinsi, Kabupaten/Kota  supaya penyelenggaraan perpustakaan sekolah termasuk tenaga perpustakaan menjadi kebutuhan yang prioritas.Â
Bagaimana mau menyelenggarakan Pendidikan yang baik dan berkualitas, dan bagaimana mau menciptakan SDM unggul apabila tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Terlebih lagi, bila melihat hasil Penilaian PISA ( Programme for International student assesment) Tahun 2018 yang penulis coba kutip dari kompas.com, yang dijelaskan Totok Suprayitno ( Kepala Badan penelitian dan pengembangan Kemendikbud) di Jakarta 3/12-2019, yang mengatakan bahwa pengukuran PISA yang dilakukan OECD ( The Organisation for economic co-operation and development) melibatkan 12.098 peserta didik dari 399 sekolah di beberapa wilayah Indonesia yang dianggap mewakili.Â
Domain yang diukur yaitu penilaian literasi matematika, literasi sains, literasi membaca. Dari ketiga unsur yang mendapat nilai paling rendah yaitu literasi membaca mendapat skor 371. Sementara kemampuan literasi membaca pelajar negara lain rata-rata di angka 487. Peringkat pertama china (skor 555), singapura (skor 549) dan Makau (skor 525). Sejak Pelajar Indonesia mengikuti PISA tahun 2000 untuk kemampuan literasi baca mendapat skor 371, tahun 2003 skor 382, tahun 2006 skor 393, tahun 2009 skor 402, tahun 2012 skor 396, tahun 2015 skor 397, tahun 2018 mendapat titik terendah dalam literasi baca hanya mendapat skor 371.
Berdasarkan hasil penilaian PISA, ternyata literasi membaca pelajar Indonesia yang paling jemblog. Kemampuan membaca pelajar Indonesia selalu mendapat nilai terendah dibanding pelajar negara lain, hal itu artinya sekarang bagaimana menyikapi bila melihat kondisi literasi membaca pelajar Indonesia yang rendah tadi. Â
Sekarang jelas kenapa pelajar Indonesia selalu rendah dibidang literasi, hal itu disebabkan  karena disekolahnya kurang tersedia bahan bacaan , bagaimana pelajar Indonesia mau meningkatkan minat dan budaya membaca, bila di sekolah saja tidak disediakan fasilitas untuk membaca.  Perpustakaan sekolah penyelenggaraannya asal ada kurang mendapat perhatian, begitu juga anggaran dan tenaga perpustakaan yang seharusnya menjadi focus perhatian, selalu terabaikan. Â
Sejalan dengan  hal di atas, kita perlu juga mengamati keberadaan dan penyelenggaraan perpustakaan umum yang dimiliki Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/kota dan Desa. Dimana perpustakaan umum ini  diselenggarakan sebagai sarana/fasilitas membaca masyarakat umum termasuk para pelajar dapat memanfaatkan perpuspustakaan umum ini apabila penyelenggaraan perpustakaan sekolahnya kurang baik. Mungkin kondisi penyelenggaraan perpustakaan perpustakaan umum lebih baik dari perpustakaan sekolah?. Bagaimana dengan kondisi tenaga perpustakaan, sarana  prasarana dan alokasi anggaran pengembangan Perpustakaan Umum Provinsi, Kabupaten/Kota dan Perpustakaan Desa?Â
Apabila mengacu ketentuan UU 43/2007 pasal 23 ayat 6 tentang anggaran pengembangan perpustakaan sekolah minimal minimal 5 % dari anggaran biaya sekolah, yang notabene  perpustakaan sekolah hanya melayani pelajar dan guru di sekolah itu . Asumsinya sebuah Perpustakaan umum di Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa alokasi anggaran pengembangan perpustakaannya lebih dari 5 %  dari APBD untuk sektor Pendidikan karena obyek yang dilayani  masyarakat umum mulai dari ; pelajar, mahasiswa, Pegawai, pejabat pemerintah, peneliti, buruh, pedagang, petani, tukang ojek dan berbagai profesi lainnya.  Â
Dalam UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan memang tidak dicantumkan secara jelas berapa anggaran untuk Perpustakaan umum yang ada ditingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan perpustakaan desa.
Hal itu  memang tidak bisa diabaikan, karena memang kewajiban pemerintah daerah provinsi,kabupaten/kota dan desa melaksanakan  penyelenggarakan  perpustakaan umum untuk memfasilitasi masyarakat belajar sepanjang hayat dan mengembangkan system layanan perpustakaan berbasis teknologi infomasi dan komunikasi, seperti tertuang dalam UU Perpustakaan pasal 22.  Terlebih sesuai UU No.23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah,  telah dijelaskan dalam suatu pasalnya bahwa urusan perpustakaan menjadi urusan wajib  non Pendidikan dasar yang harus ada disetiap pemerintah provinsi, Pemerintah Kabupaten/kota.Â
Hal ini mau tidak mau Pemerintah Kabupaten/Kota, harus mengalokasikan anggarannya untuk pembentukan dan pengembangan perpustakaan termasuk penyediaan tenaga Pustakawannya. Dan masyarakat dapat menuntut pihak Pemerintah Daerah provinsi/kabupaten/kota yang tidak menyelenggarakan perpustakaan.
Karena harus ingat juga bahwa, perpustakaan sebagai bagian dari masyarakat dunia ikut serta membangun masyarakat informasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana dituangkan dalam deklarasi "world summit of information society WSIS," 12 Desember 2003. Deklarasi WSIS, bertujuan membangun masyarakat informasi yang inklusif, berpusat pada manusia dan berorientasi secara khusus pada pembangunan. Setiap orang dapat mencipta, mengakses, menggunakan, dan berbagai informasi serta pengetahuan hingga memungkinkan setiap individu, komunitas, dan masyarakat luas menggunakan seluruh potensi mereka untuk pembangunan berkelanjutan yang bertujuan pada peningkatan mutu hidup.
Sebenarnya Langkah Kemendiknas, dengan meluncurkan GLS Â (Gerakan literasi sekolah) itu langkah yang sangat baik untuk meningkatkan literasi membaca, Â dan patut didukung semua pihak yang terkait, hanya saja perlu diperhatikan juga sarana dan prasarana untuk mendukung gerakan literasi sekolah itu, jangan sampai Gerakan literasi sekolah, sementara di sekolahnya saja tidak ada perpustakaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H