Jika memperhatikan ketentuan sebagaimana tercantum dalam ketentuan UU Perpustakaan tersebut, alokasi untuk pengembangan koleksi perpustakaan sekolah saja sekurang-kurangnya 5 % dari anggaran sekolah. Jadi sekarang bagaimana upaya dari Kemendiknas, Pemda yang membawahi Dinas Pendidikan dan kebudayaan Provinsi, Kabupaten/Kota  supaya penyelenggaraan perpustakaan sekolah termasuk tenaga perpustakaan menjadi kebutuhan yang prioritas.Â
Bagaimana mau menyelenggarakan Pendidikan yang baik dan berkualitas, dan bagaimana mau menciptakan SDM unggul apabila tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Terlebih lagi, bila melihat hasil Penilaian PISA ( Programme for International student assesment) Tahun 2018 yang penulis coba kutip dari kompas.com, yang dijelaskan Totok Suprayitno ( Kepala Badan penelitian dan pengembangan Kemendikbud) di Jakarta 3/12-2019, yang mengatakan bahwa pengukuran PISA yang dilakukan OECD ( The Organisation for economic co-operation and development) melibatkan 12.098 peserta didik dari 399 sekolah di beberapa wilayah Indonesia yang dianggap mewakili.Â
Domain yang diukur yaitu penilaian literasi matematika, literasi sains, literasi membaca. Dari ketiga unsur yang mendapat nilai paling rendah yaitu literasi membaca mendapat skor 371. Sementara kemampuan literasi membaca pelajar negara lain rata-rata di angka 487. Peringkat pertama china (skor 555), singapura (skor 549) dan Makau (skor 525). Sejak Pelajar Indonesia mengikuti PISA tahun 2000 untuk kemampuan literasi baca mendapat skor 371, tahun 2003 skor 382, tahun 2006 skor 393, tahun 2009 skor 402, tahun 2012 skor 396, tahun 2015 skor 397, tahun 2018 mendapat titik terendah dalam literasi baca hanya mendapat skor 371.
Berdasarkan hasil penilaian PISA, ternyata literasi membaca pelajar Indonesia yang paling jemblog. Kemampuan membaca pelajar Indonesia selalu mendapat nilai terendah dibanding pelajar negara lain, hal itu artinya sekarang bagaimana menyikapi bila melihat kondisi literasi membaca pelajar Indonesia yang rendah tadi. Â
Sekarang jelas kenapa pelajar Indonesia selalu rendah dibidang literasi, hal itu disebabkan  karena disekolahnya kurang tersedia bahan bacaan , bagaimana pelajar Indonesia mau meningkatkan minat dan budaya membaca, bila di sekolah saja tidak disediakan fasilitas untuk membaca.  Perpustakaan sekolah penyelenggaraannya asal ada kurang mendapat perhatian, begitu juga anggaran dan tenaga perpustakaan yang seharusnya menjadi focus perhatian, selalu terabaikan. Â
Sejalan dengan  hal di atas, kita perlu juga mengamati keberadaan dan penyelenggaraan perpustakaan umum yang dimiliki Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/kota dan Desa. Dimana perpustakaan umum ini  diselenggarakan sebagai sarana/fasilitas membaca masyarakat umum termasuk para pelajar dapat memanfaatkan perpuspustakaan umum ini apabila penyelenggaraan perpustakaan sekolahnya kurang baik. Mungkin kondisi penyelenggaraan perpustakaan perpustakaan umum lebih baik dari perpustakaan sekolah?. Bagaimana dengan kondisi tenaga perpustakaan, sarana  prasarana dan alokasi anggaran pengembangan Perpustakaan Umum Provinsi, Kabupaten/Kota dan Perpustakaan Desa?Â
Apabila mengacu ketentuan UU 43/2007 pasal 23 ayat 6 tentang anggaran pengembangan perpustakaan sekolah minimal minimal 5 % dari anggaran biaya sekolah, yang notabene  perpustakaan sekolah hanya melayani pelajar dan guru di sekolah itu . Asumsinya sebuah Perpustakaan umum di Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa alokasi anggaran pengembangan perpustakaannya lebih dari 5 %  dari APBD untuk sektor Pendidikan karena obyek yang dilayani  masyarakat umum mulai dari ; pelajar, mahasiswa, Pegawai, pejabat pemerintah, peneliti, buruh, pedagang, petani, tukang ojek dan berbagai profesi lainnya.  Â
Dalam UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan memang tidak dicantumkan secara jelas berapa anggaran untuk Perpustakaan umum yang ada ditingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan perpustakaan desa.
Hal itu  memang tidak bisa diabaikan, karena memang kewajiban pemerintah daerah provinsi,kabupaten/kota dan desa melaksanakan  penyelenggarakan  perpustakaan umum untuk memfasilitasi masyarakat belajar sepanjang hayat dan mengembangkan system layanan perpustakaan berbasis teknologi infomasi dan komunikasi, seperti tertuang dalam UU Perpustakaan pasal 22.  Terlebih sesuai UU No.23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah,  telah dijelaskan dalam suatu pasalnya bahwa urusan perpustakaan menjadi urusan wajib  non Pendidikan dasar yang harus ada disetiap pemerintah provinsi, Pemerintah Kabupaten/kota.Â
Hal ini mau tidak mau Pemerintah Kabupaten/Kota, harus mengalokasikan anggarannya untuk pembentukan dan pengembangan perpustakaan termasuk penyediaan tenaga Pustakawannya. Dan masyarakat dapat menuntut pihak Pemerintah Daerah provinsi/kabupaten/kota yang tidak menyelenggarakan perpustakaan.