Mohon tunggu...
Iswara Rusniady
Iswara Rusniady Mohon Tunggu... Human Resources - Pustakawan

sekedar mencoba berbagi...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Senyum Kecut Memandang Rencana Kenaikan UMP 2020

6 November 2019   13:02 Diperbarui: 7 November 2019   10:57 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribun Jogja/Hasan Sakri Ghozali

Para pekerja khususnya para buruh perusahaan, mungkin sudah banyak yang mengetahui dan mendengar dengan isu akan ada kenaikan upah untuk tahun 2020.  

Rencana kenaikan UMP berdasarkan acuan  Surat Edaran (SE) Mentri Ketenagakerjaan No.B-M/308/HI.01.00/X/2019 perihal data tingkat inflasi nasional dan PDB tahun 2019, dalam surat edaran itu disebutkan pula mengenai  UMP 2020 yang telah diputuskan per 1 November 2019. 

Mulai tahun 2020 akan  menaikan upah buruh minimum per provinsi (UMP), yang besaran kenaikan upah itu hanya sebesar 8,51 persen. Dengan dinaikan upah buruh dengan standar upah buruh UMP yang diberlakukan tiap daerah provinsi. 

Dengan adanya regulasi pemerintah tentang kenaikan UMP  itu yang telah mempertimbangkan tingkat inflasi nasional dan PDB,  pemerintah mengharapkan akan cukup mensejahterakan dan bisa menutup kebutuhan para buruh. Walaupun dengan adanya kebijakan tersebut pada akhirnya harus disambut para buruh  dengan senyum  yang kecut,  senyum kegetiran,  senyum kegelisahan karena tidak sesuai dengan  standard kebutuhan  hidup layak (KHL). Sebab itulah sebagian para buruh  berunjuk rasa mengajukan  tuntutan  agar UMP  disesuaikan  dengan standard hidup layak yang sebagaimana mestinya, karena para buruh harus menanggung  kebutuhan keluarganya. 

Yang jelas,   para buruh  tidak setuju  dengan penetapa kenaikan   UMP 8,51 %  karena kenaikan sebesar itu hanya bisa dinikmati sesaat, karena saat berikutnya para buruh akan dihadapkan dengan harga kebutuhan pokok ikut naik. Belum lagi rencana pemerintah mulai tahun 2020 menaikan iuran BPJS, menyusul tarif listrik dan tarif tol. 

Kenaikan UMP yang selalu dinantikan para buruh, seyogianya bisa dinikmati dulu, jangan sampai ada kenaikan barang dan jasa lainnya.

Jadi kalau setiap kali upah buruh naik, tetapi berbagai kebutuhan pokok terkadang ikut naik, rasanya kenaikan yang hanya 8,51 % itu, tidak ada artinya  bagi sebagian besar para buruh. 

Padahal para buruh, sudah banyak keluar keringat untuk mengabdikan diri, membesarkan, dan bekerja untuk perusahaan. Namun jika diperhatikan masih terjadi demo di kalangan para buruh. Artinya para buruh masih tidak bisa terima dengan kanaikan sebesar itu.

Kadang para buruh masih merasakan upah sebesar itu tidak sebanding dengan pengabdian, dan pekerjaan yang sudah dikeluarkan, maka mereka pun turun ke jalan untuk berdemo, agar upahnya ada perbaikan.

Seperti yang saya kutip dari cnbcindonesia.com, para buruh melakukan aksi unjuk rasa di Balaikota DKI Jakarta pada 30/10. Kemudian 31/10, ratusan buruh dari Provinsi Banten, Jawa Barat, dan Jakarta juga melakukan demo di Kantor Kementrian Ketenagakerjaan.

Dari aksi demo tersebut para buruh menuntut antara lain menolak PP 78/2015 tentang pengupahan, yang menjadi dasar rencana kenaikan UMP 2020 yang hanya 8,51 %, mereka juga menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, menjelaskan, tuntutan para buruh, sebenarnya menginginkan kembali kepada mekanisme penentuan upah minimum berdasar UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan.

Karena berdasarkan ketentuan UU Ketenagakerjaan tahun 2003 itu, keputusan upah minimum ditentukan berdasarkan survei kebutuhan layak (KHL) di pasar yang kemudian didiskusikan di dewan pengupahan daerah kota/kabupaten yang melibatkan pemerintah, pengusaha, dan buruh dalam perundingannya.

Walau sudah diumumkan ketentuan UMP masing-masing provinsi, para buruh tetap menuntut pada pemerintah agar memperjuangkan kenaikan sampai 15 %.

Seperti yang saya kutip dari detikcom, perwakilan para buruh, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat mengatakan, keputusan itu sangat menyakitkan bagi buruh. 

Menurutnya, kenaikan yang ditetapkan pemerintah sebesar 8,51% tidak layak. Mirah mengatakan bahwa kenaikan 8,51 % tidak sebanding dengan beberapa kenaikan yang akan terjadi tahun 2020, salah satunya kenaikan BPJS Kesehatan, jelasnya.

Walau banyak yang menolak kenaikan 100% BPJS Kesehatan tersebut tapi karena pemerintah sudah menetapkan, mau tidak mau masyarakat hanya bisa mengelus dada. Demikian juga nampaknya akan terjadi pada kejadian tuntutan para buruh yang menolak kenaikan 8.51 % yang telah ditetapkan Pemerintah/Kementrian Ketanagakerjaan.

Lagi-lagi masyarakat, dalam hal ini para buruh, harus mengelus dada beberapa kali, harus banyak bersabar. Mudah-mudahan ke depan harapan yang diinginkan bisa diraih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun