Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang lahir dari rahim Reformasi adalah pucuk tumpuan demokrasi di Indonesia. Dengannya, impian setiap warga negara untuk mendapatkan jaminan kesetaraan dalam konstitusi dapat terwujud. Salah satu hal yang sangat sukar diwujudkan (bahkan tidak mungkin dibicarakan) dalam masa otoriter Orde Baru. Tentu ini dilematik. Sebuah negara bangsa besar yang mendaku dirinya sebagai negara hukum, tapi pada faktanya pernah mengalami kondisi kelam, 32 tahun tanpa kepastian hukum yang jelas. Oleh karenanya posisi Mahkamah Konstitusi (MK) jelas sangatlah vital.
MK menjadi ujung tombak demokrasi yang menjadi simbol kepastian hukum dan konstitusi bagi setiap anak bangsa. MK ibarat menjadi striker atau penyerang depan andalan dalam sebuah tim sepak bola yang siap mencetak gol dan membobol kemandegan demokrasi. Kelahiran MK pada tanggal 13 Agustus 2003 menjadi tonggak sejarah yang sangat penting di Indonesia karena mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia yang semula menggunakan prinsip supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Hal ini ditegaskan pada perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang pada awalnya berbunyi "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat", kemudian berubah menjadi "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar".
Dalam UUD 1945 sebelum perubahan, kedudukan presiden dan wakil presiden adalah mandataris MPR sebab presiden dan wakil presiden dipilih oleh mereka. Dengan struktur tersebut, maka ancaman utama terhadap presiden terpilih adalah dari MPR seumpama pertanggungjawabannya tidak diterima. Oleh karena itu, besar kemungkinan seorang presiden akan mengatur sedemikian rupa agar komposisi MPR tidak mengancam kekuasaannya.
Hal ini dimungkinkan dengan pembentukan undang-undang sesuai dengan maksud dan tujuan tersebut, apalagi didukung dengan keberadaan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di sisi lain pada Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa keanggotaan MPR diatur dengan undang-undang. Dengan berlandaskan hal tersebut, presiden (di masa lampau) memiliki keleluasaan untuk mengatur keanggotaan MPR melalui produk undang-undang yang dibuatnya. Inilah yang kemudian mewujud dalam negara totalitarianisme atau otoritarianisme seperti yang diperlihatkan pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba). Â Â Â Â
Pembentukan Mahkamah Konstitusi melalui perubahan UUD 1945 merupakan pertanda bahwa Indonesia bersungguh-sungguh untuk mewujudkan negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democratic state), seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat dan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menekankan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia diwujudkan dalam sebuah negara yang berkedaulatan rakyat, dengan kata lain adalah negara yang demokratis. Sedangkan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, serta bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Berdasarkan pada hal tersebut, maka Indonesia yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 bukan hanya negara yang berkedaulatan rakyat atau demokratis, namun juga merupakan sebuah negara hukum. Sedangkan negara demokrasi yang dimaksud bukan dalam pengertian majoritarian democracy melainkan dalam bentuk constitutional democracy. (Palguna: 138) Â Â Â
Constitutional democracy memiliki gagasan bahwa suara mayoritas berhak memerintah, tetapi di sisi lain dalam praktiknya harus dikontrol oleh konstitusi sebagai hukum tertinggi agar tidak ada hak warga negara yang dilanggar. Pada titik ini konsep constitutional democracy bertemu dengan konsep negara hukum modern yang mengutamakan ketaatan terhadap konstitusi. Peleburan dua konsep ini kemudian melahirkan konsep constitutional democratic state atau negara demokrasi yang berlandaskan hukum.
Pada intinya, mahkamah konstitusi akan mempunyai dua fungsi utama yaitu: pertama, menjaga berjalannya proses demokrasi dalam kaitannya dengan wewenang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua,melindungi hak warga negara dari potensi pelanggaran oleh negara.
Harapan untuk MK Â Â Â
Dengan sedemikian penting dan strategisnya kehadiran MK di Indonesia, maka kita sebagai warga negara patut berbangga da berbesar hati. Selangkah demi selangkah bayangan akan negara demokrasi dalam undang-undang yang sejak kecil sudah diajarkan sejak bangku sekolah kini mulai terlihat bentuknya. Konstitusi yang dulu seolah hanya berupa deretan kosakata indah dalam teks-teks yang susah ditemukan wujudnya dalam kehidupan sehari-hari kini mulai bergeser.
Kita bisa merasa bahagia dan bangga sebagai warga negara Indonesia karena hak konstitusi kita kini dilindungi oleh MK. Demokrasi juga bergerak ke arah yang lebih baik berkat adanya pengawasan oleh MK serta kembalinya kedaulatan di tangan rakyat.
Saya (dan mungkin juga Anda) berharap  bahwa MK akan semakin kuat dan kokoh di masa-masa yang akan datang. Di sisi lain, saya juga mengharapkan kesadaran akan hukum dan konstitusi di kalangan masyarakat luas juga akan bertumbuh seiring perkembangan zaman. Semoga seiring waktu, akan ada mekanisme pendidikan mengenai hukum dan konstitusi bagi masyarakat secara holistik disesuaikan jenjang usia, pendidikan, dan struktur masyarakat. Dengan demikian, negara hukum yang diidam-idamkan selama ini akan semakin jelas wajahnya dengan ditopang semangat pelaksanaan hukum dan konstitusi oleh lembaga negara serta kesadaran akan hukum dan konstitusi oleh warga negara itu sendiri. Demikian.   Â
  Â
Referensi:
Palguna, I D.G., 2018, Mahkamah Konstitusi: Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan Perbandingan dengan Negara Lain, Penerbit Konstitusi Press (Konpress): JakartaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H