Mohon tunggu...
Iswan Heri
Iswan Heri Mohon Tunggu... Administrasi - Dreamer, writer, and an uncle

Traveller, Writer, Dreamer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

MQK 2017: Merayakan Literasi di Kampung Santri

9 Desember 2017   19:59 Diperbarui: 10 Desember 2017   01:47 1155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kafilah Kompasiana berdikusi dengan Bapak Muhtadin (dokpri).

Kami diundang untuk berinteraksi dengan santri dan warga, bukan sekedar pasang aksi di depan layar gawai enam inci. Pembaca harus menyimak nasihat beliau:

"Kalau orang baru datang ke Semarang, biasanya selfie di simpang lima lalu upload di media sosial. Kadang hanya foto di satu-dua lokasi, tapi merasa sudah mengerti seluk-beluk Semarang seluruhnya. Hal yang sama terjadi dalam fenomena di lingkungan keagamaan. Orang baru mempelajari satu hadis atau satu ayat, tapi seolah-olah sudah tahu semua kandungan Islam. Pemahaman itu lantas diajarkan dan dipaksakan dimana-mana. MQK ini mengajak masyarakat untuk kembali mengenal kitab kuning sebagai khazanah ilmu yang luar biasa dan memahami ajaran Islam secara lebih mendalam," ucap Pak Muhtadin kepada kafilah Kompasiana, Sabtu (2-12-2017) di lokasi acara.

Nasehat Pak Muhtadin begitu menohok. Telepon pintar ternyata justru menambah orang yang sok pintar, tapi minim ilmu. Minim bacaan. Tentu saja aku juga pernah merasa seperti itu. Hobi meng-copy tulisan di sana-sini, merasa diri bak ilmuwan jempolan. Sungguh, aku tersadar. Aku tertampar.

Pak Muhtadin juga mengajak kami untuk ikut mengabarkan nilai penting kitab kuning dan makna pesantren dalam kehidupan modern. Pesantren jadi gudang pengetahuan bertahun-tahun, walau kadang tiada selembar ijazah yang jadi penanda kelulusan. Tapi, apakah ilmu pengetahuan butuh selembar kertas pengakuan? Apakah jadi orang berilmu harus memajang gelar panjang-panjang di belakang namanya?

Padahal, bukankan ilmu sejati letaknya di dalam hati, bukan alat berbangga diri. Apalagi alat untuk menghakimi sesama. Tapi dunia modern butuh ijazah. Pesantren dituntut berbenah. Menambah mata pelajaran seperti kurikulum nasional. Sebagai bekal siswa menghadapi dunia luar. Tradisi keagamaan yang kental di pesantren berbaur dengan tuntutan ilmu pengetahuan modern.

Pesantren kian berbenah untuk mengikuti perkembangan zaman. Tapi sepantasnya kita tak lupa pada kiprah pesantren dalam menyebarkan ilmu pengetahuan hingga pelosok desa yang tak terjamah mata. Pesantren perlu berkenalan dengan modernitas. Begitu pula sebaliknya, modernitas perlu mengenal pesantren dan segala tradisinya.

Banner MQK Nasional VI (dokpri)
Banner MQK Nasional VI (dokpri)
Referensi:

Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Tingkat Nasional VI Tahun 2017”, , diakses pada 9 Desember 2017, pukul 15.00 WIB.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun