[caption caption="Sumber ilustrasi: aktual.com"][/caption]“Bu,”Aku menoleh. Widuri, puteri sulungku berdiri di depan pintu kamar. Matanya terlihat sembab dengan sisa- sisa air mata masih tercetak di pipi putihnya. Hatiku mencelos melihatnya.“Kemari, Wid!” panggilku sembari mengusap lembut permukaan kasur yang tengah kududuki. Menunjukkan dia bisa bercerita apapun padaku. Ibunya.
Widuri menurut. Ia melangkah perlahan menghampiriku lalu duduk di sampingku.Kucoba mengulas senyuman, meski sejujurnya melihat keadaan Widuri membuat sudut hatiku terasa teriris. Perih.
“Ada apa, Nak?” tanyaku lembut.
Widuri menatapku, ia menghela napas panjang sebelum akhirnya bersuara, “Ibu jadi pergi?”Aku terdiam sejenak. Ternyata ini yang mengganggu pikirannya. Sebersit rasa bersalah menyelimutiku, namun tak lama kuanggukkan kepala.
“Jadi…” jawabku lirih. Sungguh bibir ini pun terasa kelu.
“Harus ya, Bu?”
Harus? Aku terdiam kembali. Pertanyaan Widuri membawa ingatanku mundur kembali ke belakang. Bertahun- tahun sudah aku dan seluruh warga berjuang untuk mempertahankan keutuhan daerah kami. Tempat tinggal kami. Tanah leluhur yang harus dijaga dari arus modernisasi zaman.
Pemerintah akan mendirikan pabrik semen di daerahku. Terang seluruh warga menolak mentah- mentah. Pencemaran dan kerusakan alam sekitar menjadi taruhan terbesar jika pabrik tetap berdiri. Dampak yang akan ditimbulkan akan sangat berpengaruh bagi kehidupan warga saat ini juga keberlangsungan hidup anak cucu kami. Apalagi daerah Pegunungan Kendeng yang merupakan daerah resapan air yang cukup baik. Bisa dipastikan semua tak lagi sama jika pabrik tetap ada.
“Ibu akan baik- baik aja kan?” Pertanyaan Widuri menyentakkan kesadaranku. Bertahun- tahun berjuang, kami masih belum menemukan keadilan. Unjuk rasa, aksi damai, bahkan sudah dua tahun para wanita di kampungku hidup di tenda sebagai bentuk protes, belum jua berbuah hasil. Dan sekarang, beberapa orang warga akan datang ke Jakarta, ingin bertemu langsung sang pemimpin tinggi negara dengan aksi yang lebih nekat. Aksi yang membuat semua orang membuka matanya terhadap ketidakadilan yang sudah kami terima.
Kuanggukkan kepala. “Ibu pasti baik- baik saja. Ibu pasti kembali.”
Widuri mengangguk dan memelukku erat. Anakku cemas itu wajar. Namun perjuangan tak boleh berhenti. Semua kami lakukan untuk kebaikan bersama. Kehidupan kami, anak cucu serta seluruh makhluk hidup yang menggantungkan diri pada Pegunungan Kendeng.Kulakukan semua untukmu, Nak. Untuk hidupmu juga semua anak- anak di masa depan, bisikku dalam hati.
Tuhan bermurah hati menciptakan negeri ini dengan keelokan dan keasrian alam yang bermanfaat bagi manusia. Ironis memang, karena manusia sendiri yang akan menghancurkan keindahan alam tersebut.
***
Kuingat-ingat kembali percakapan dengan ibu kemarin,sehari sebelum ia berangkat ke ibu kota bersama rombongan ibu-ibu yang lain dari desaku. Seluruh warga berkumpul di balai desa melepas kepergian mereka yang akan melaksanakan aksi di depan istana. Berat rasanya melepas kepergian ibu. Tak tega rasanya melihat wanita sepuh yang setiap hari kulitnya terpanggang matahari itu harus melakukan perjalanan panjang nan melelahkan. Tapi tekad Ibu sudah bulat. Seperti kata beliau,perjuangan sampai kapan pun tak boleh berhenti.
Kini,aku duduk sendiri di depan televisi,melihat ibu berdiri di tengah terik mentari dengan kaki yang disemen di depan istana. Mataku berkabut melihat betapa kokohnya wanita yang melahirkanku ke dunia itu berjuang mempertahankan sawah tempat kami menggantungkan hidup selama ini.
Kubuka kembali lembaran kertas yg diberikan Ibu tempo hari. Kubaca ulang syair yang ditulis ibu, seolah ia sendiri yang membacakannya di hadapanku. "Wanita itu harus kuat,karena di pundaknyalah masa depan itu berada",bisiknya saat itu. Dengan sepenuh hati kuanggukkan kepalaku. Aku harus menjadi wanita yang kuat seperti Ibu.
***
Jangan kau anggap remeh
Karena kami punya payudara
Jangan jua kau bertanya
Ah, mereka bisa apa?
Tak tahukah kau manusia
Di dada kami sumber kehidupan bermuara
Karenanya anak-anak belajar mengucap kata
Langkahnya kokoh menjelajah dunia
Jangan kau tertawa
Karena manis senyum dan lembut suara
Itu bukanlah pertanda
Rapuhnya ide di kepala
Redupnya hasrat dalam jiwa
Kalaupun jarang kau dengar kami punya suara
Bukan berarti kami tak bicara
Akal kami tak henti bernalar
Mata kami tak redup membaca
Lidah kami tak kelu mengeja
Jiwa kami tak surut bergelora
Jangan kau anggap biasa
Saat caping dilekatkan ke kepala
Kain jarik diangkat diatas kaki semata
Ini hari tak berangkat kami ke sawah
Berbaris satu berpanjang langkah
Berjalan seirama menuju istana
Ingatkan Raja, kamilah yang beri ia tahta
Kan kami tanam kaki di depan singgasana
Sebagai marka, tekad keras membaja
Dan jangan pernah kau anggap remeh
Karena kami punya payudara
Ingat-ingatlah wahai manusia
Di dada kami sumber kehidupan bermuara
Di hati kami cita dan cinta dipelihara
Di rahim kami, benih kehidupan dijaga
Dan dirahim bumi, harapan dan masa depan ditanam dengan suka cita
Karya ini dibuat oleh Imas Siti Liawati dan Iswan Heri dalam rangka memeriahkan event Bulan Kolaborasi RTC.
[caption caption="Sumber ilustrasi: RumpiesTheClub@dok"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H