Pasar bisa diciptakan
Membangun kota dan peradaban sendiri
Pasar bisa diciptakan
………
(Pasar Bisa Diciptakan – Efek Rumah Kaca)
Lama tidak terdengar, tetiba salah satu band kesukaan saya, Efek Rumah Kaca (ERK) merilis lagu baru mereka “Pasar Bisa Diciptakan”, pada tanggal 10-Juli-2015 yang lalu. Peluncuran lagu ini ditandai dengan pemutaran lagu tersebut secara serentak di radio-radio di Indonesia. Mungkin banyak yang sudah mendengar lagu tersebut, namun jika belum, anda bisa mengunduh lagunya secara gratis di akun soundcloud ERK. Penggalan lirik lagu tersebut seperti yang saya kutip pada pembuka tulisan ini.
Band Efek Rumah Kaca (ERK) yang beranggotakan Cholil Mahmud (vokal, gitar), Adrian Yunan Faisal (bass, vokal latar), dan Akbar Bagus Sudibyo (drum, vokal latar), pada tahun ini genap memasuki satu dekade perjalanan karir musik mereka. Dalam kurun waktu tersebut, mereka sudah menelurkan dua album, yaitu album “Efek Rumah Kaca” (2007) dan “Kamar Gelap” (2008). Sedangkan lagu “Pasar Bisa Diciptakan” adalah single perdana untuk album baru mereka yang rencananya akan keluar tahun ini.
Lagu “Pasar Bisa Diciptakan” sebenarnya adalah “manifesto” ERK yang sudah digaungkan sejak awal mereka berdiri, dan mengusung ide tentang kemandirian berkarya seni dalam pusaran industri musik. Manifesto yang bukan main dan bukan main-main. Di tengah kecenderungan karya seni (khususnya dalam bentuk lagu) yang cenderung mengikuti selera pasar demi meraih keuntungan sebanyak-banyaknya sekaligus secepat-cepatnya, ERK justru menyerukan bahwa pasar sebenarnya bisa diciptakan. Jadi tidak ada lagi alasan bagi musisi untuk harus tunduk dan patuh pada selera pasar, karena sebenarnya musisi mampu menciptakan pasar mereka sendiri.
Pasar yang semula menduduki posisi superior, tiba-tiba turun kasta dihadapan ERK. Ini jelas sebuah hal yang tak lazim dan pemikiran diluar arus kebanyakan. Kritis, mengusik, namun sekaligus cerdas dan mencerahkan. Pada akhirnya saya teracuni juga oleh pemikiran ERK ini, sekaligus menemukan jawaban atas kebosanan level akut pada lagu-lagu mainstream yang selama ini tema dan liriknya seputar itu-itu saja. Coba bayangkan bagaimana jika diseluruh dunia, manusianya memakai baju yang sama dan tidak pernah berganti. Berkemeja putih dan bercelana merah layaknya siswa SD. Membosankan bukan? Itulah gambaran kondisi musik dominan di negeri ini dan bisa jadi di dunia saat ini. Nyaris sama dan seragam, kalau tidak disebut stagnan.
MEMBANGUN KOTA DAN PERADABAN SENDIRI