“Kami Aparatur Sipil Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, bertekad, melaksanakan dan mensukseskan Gerakan Nasional Revolusi Mental dengan menjunjung tinggi nilai-nilai, etos kerja, dan gotong royong untuk mewujudkan Indonesia berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.."
Begitulah bunyi “Tekad Revolusi Mental” yang dibacakan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani pada upacara Pencanangan Gerakan Nasional Revolusi Mental di Jakarta, Senin (24/08/2015).
Dalam sambutannya, Puan menyebut nama kakeknya, sekaligus Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. "Pada waktu itu, Bung Karno mengatakan bahwa ini gerakan jangka panjang, di mana kita dapat melahirkan manusia-manusia baru yang ada etos kerjanya. Bukan hanya menjadi jargon," ujar Puan sebagaimana dikutip Liputan 6.
Revolusi mental yang dicetuskan Bung Karno berupa perombakan cara berpikir, cara kerja/berjuang, dan cara hidup agar selaras dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi nasional. Revolusi mental mempunyai dua tujuan utama: pertama, menanamkan rasa percaya diri pada diri sendiri dan kemampuan sendiri; dan kedua, menanamkan optimisme dengan daya kreatif di kalangan rakyat dalam menghadapi rintangan dan kesulitan-kesulitan bermasyarakat dan bernegara.
Revolusi mental tentu tidak akan terlaksana jika hanya sebatas retorika atau seruan moral belaka. . Menyadari hal tersebut, pemerintahan Soekarno mencanangkan sejumlah program, seperti: hidup sederhana, gerakan kebersihan/kesehatan, gerakan pemberantasan buta-huruf, gerakan memassalkan gotong-royong, gerakan mendisiplikan dan mengefisienkan perusahaan dan jawatan negara, gerakan pembangunan rohani melalalui kegiatan keagamaan, dan penguatan kewaspadaan nasional.
Program gerakan hidup sederhana bukan hanya melulu soal gaya hidup sederhana dan hidup hemat, tetapi juga upaya menghentikan impor barang-barang kebutuhan hidup dari luar negeri, penghargaan terhadap produksi nasional, dan membangkitkan kesadaran berproduksi, seperti dikutip Berdikari Online.
Revolusi Mental ala Jokowi
Lantas bagaimana dengan Revolusi Mental di era pemerintahan Jokowi? Menurut Jokowi, revolusi mental dapat diartikan sebagai keharusan warga Indonesia untuk mengenal karakter orisinal bangsa.
Karakter asli bangsa Indonesia adalah sikap santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Karakter ini merupakan modal penting yang seharusnya dapat mendorong rakyat untuk hidup sejahtera.
Perubahan karakter bangsa menjadi akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan. Kondisi itu terjadi selama bertahun-tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa.
"Oleh sebab itu, saya menawarkan ada sebuah revolusi mental," ujar Jokowi, seperti yang dirangkum oleh Kompas.
Revolusi Mental Melalui Keluarga
Mengingat pentingnya revolusi mental ini, maka perlu dibuat program-program pendukung agar tidak menjadi sebatas wacana belaka. Salah satunya adalah melalui penanaman semangat revolusi mental di dalam keluarga, sebagai lingkaran terkecil masyarakat. Dalam rangka itu, BKKBN sebagai lembaga yang menangani seputar keluarga di Indonesia, menggalakkan berbagai program sosialisasi. Salah satunya adalah kegiatan “Nangkring Kompasiana Bersama BKKBN” di hotel Solo Paragon, Solo pada hari Kamis (20-08-2015) kemarin, dengan mengambil tema: “Menanamkan Revolusi Mental Melalui 8 Fungsi Keluarga”
Kegiatan ini setidaknya menjadi terobosan baru bagi BKKBN dalam mensosialisasikan program-programnya memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada, khususnya melalui medium media sosial seperti blog dan twitter. Acara ini mendapat antusiasme yang sangat tinggi dari para kompasianer, terbukti dengan banyaknya peserta yang hadir untuk mengikuti agenda tersebut. Para peserta yang datang bukan hanya dari generasi muda, tetapi juga dari lintas generasi dan latar belakang, seperti ibu rumah tangga, karyawan swasta, dosen, pemerhati keluarga, aktivis LSM, mahasiswa, serta tak ketinggalan dari Komunitas Kompasianer Solo (KOMPOSONO), dan masih banyak lagi. Bukan hanya Kompasianer dari Solo saja yang datang, bahkan diantaranya ada yang hadir dari kota Wonogiri, Jogja, dan Salatiga.
Salah satu daya tarik dari kegiatan ini juga datang dari pembicara yang ditampilkan, yaitu: Arswendo Atmowiloto (Budayawan), Soleh Amini Yahman (Pemuka Agama dan Psikolog), dr. Abidin Syah (Deputi Bidang Sosialisasi BKKBN), dan DR. Sudibyo (Deputi Bidang Keluarga Sejahtera & Pemberdayaan Keluarga).
Kegiatan yang diselenggarakan oleh BKKBN bekerjasama dengan Kompasiana ini mengambil tema: “Menanamkan Revolusi Mental Melalui 8 Fungsi Keluarga”. Adapun 8 Fungsi Keluarga yang dimaksud adalah: fungsi agama, fungsi sosial budaya, fungsi cinta dan kasih sayang, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, serta fungsi lingkungan.
Bagaimana Menanamkan Revolusi Mental?
Secara keseluruhan, acara “Nangkring Kompasiana Bersama BKKBN” ini berjalan sangat baik serta dapat memberikan wacana baru bagi masyarakat, khususnya bagi saya pribadi. Tema “Menanamkan Revolusi Mental Melalui 8 Fungsi Keluarga” yang diusung sangat menarik untuk dijadikan bahan diskusi bersama. Hanya saja, keterbatasan waktu yang ada membuat diskusi yang dilakukan terasa kurang tuntas dan mendalam. Penajaman isu seputar tema “Menanamkan Revolusi Mental Melalui 8 Fungsi Keluarga” belum dapat dilakukan. Bagaimana cara dan strategi untk menanamkan revolusi mental melalui keluarga belum cukup dikupas tuntas selama acara. Pertanyaan lain yang muncul dibenak saya kemudian adalah wujud keluarga seperti apa yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menanamkan revolusi mental?
Sedangkan disisi lain, problematika yang menghinggapi keluarga di Indonesia sudah sangat kompleks. Kemiskinan, tingginya angka perceraian, KDRT, pernikahan usia dini, tingkat kematian ibu melahirkan, adalah beberapa contoh dari masalah yang harus dihadapi serta menunggu untuk diselesaikan.
Revolusi Mental jelas bukanlah sesuatu yang gampang untuk dilakukan serta membutuhkan campur tangan banyak pihak. Sudah saatnya pemerintah dengan berbagai lembaganya membuat perencanaan yang matang dan terukur agar konsep “Revolusi Mental” tidak hanya menjadi sebatas wacana dan jargon belaka. Keikutsertaan berbagai kelompok masyarakat yang ada juga sangat dibutuhkan untuk mewujudan Revolusi Mental ini.
Sebagaimana pesan Soekarno, revolusi mental bukanlah pekerjaan satu-dua hari, melainkan sebuah proyek nasional jangka panjang dan terus-menerus. “Memperbaharui mentalitet suatu bangsa tidak akan selesai dalam satu hari,” ujarnya. Memperbaharui mentalitas suatu bangsa tidak seperti orang ganti baju; dilakukan sekali dan langsung tuntas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H