Mohon tunggu...
Muhammad Iswan
Muhammad Iswan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Indonesia

apa yang kau lakukan sekarang adalah masa depanmu di masa lalu, dan apa yang kau lakukan di masa sekarang adalah pengantar menuju masa yang kelak kau sebut 'hari ini'.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Kembali kepada Fitrah Pasca Bulan Ramadhan

24 April 2023   01:05 Diperbarui: 24 April 2023   01:23 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi. Sumber ilustrasi: UNSPLASH

Untuk melihat relasi keduanya, puasa maupun zakat tidak dapat dilihat sekadar sebagai ibadah lahiriah. ada makna dan nilai agung kemanusiaan di dalamnya. ada yang berharap dapat mengarungi bulan ramadhan dengan target puasa lengkap dari awal hingga akhir, begitu pun dengan ibadah sujud di setiap malamnya. namun, apa benar, kita memahami makna di balik aktivitas itu? jangan-jangan hanya sekadar melanjutkan tradisi dalam Islam dalam bentuk simbolik semata.

"Diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" (Q.S. Al-Baqarah: 183)

seruan yang langsung dari pedoman beragama dalam ajaran Islam. Namun, yang perlu dipahami adalah puasa itu sendiri dan juga taqwa sebagai tujuan yang hendak digapai pada saat atau setelah melaksanakan ibadah puasa. ini harus diperjelas sebelum akhirnya melangkah kepada apa dan bagaimana seharusnya zakat dikeluarkan oleh seorang Muslim.

Menggapai Taqwa dengan Puasa

Dengan alasan itu, maka perlu dipertegas tentang makna di balik taqwa. sebab kata taqwa sendiri tidak mampu hanya dipahami dalam bentuknya yang abstrak. ia harus dikaji dari segi materilnya agar kita lebih mudah memahami taqwa sebagai sebuah seruan atau anjuran. untuk melihat itu, perlu kiranya kita kembali membuka surah Al-Baqarah, khususnya pada ayat 2, 3 dan 4. melalui ayat tersebut, kita akan memperoleh informasi mengenai penjelasan implisit menyoal taqwa. yaitu, sebagaimana tertulis pada ayat 3, meyakini eksistensi yang melampaui fisik atau wujud materi, mendirikan dan senantiasa melaksanakan shalat serta menginfakan sebagian harta yang dimiliki.

Tidak berhenti di sana. sebab sama sekali belum terlihat relasi antara taqwa dengan seruan untuk melaksanakan ibadah puasa. coba kita lihat pada ayat selanjutnya, ayat 4. Ternyata, bahkan dalam ayat 4 tidak ditemukan relasi pasti antara puasa dengan taqwa. ayat 4 hanya menyampaikan informasi bahwa seseorang dikatakan taqwa apabila meyakini kebenaran Al-quran dan kitab yang datang sebelumnya serta beriman kepada hari akhir. Lantas dimana dapat ditemui relasi yang dimaksud?

Beberapa pemikir Islam terdahulu mungkin sudah menyampaikan relasi keduanya. Namun, menyerahkan penjelasan tersebut kepada mereka secara penuh dapat menjauhkan kita dari pemaknaan relasi puasa dan taqwa sebagaimana seharusnya kita memahaminya berdasarkan kondisi kita sekarang. Sehingga akan lebih mudah bagi kita sebagai muslim kekinian untuk memahami dan menyelaraskan ajaran agama dengan perkembangan yang ada.

Sebagaimana yang dikutip oleh Lailah Alfi dalam Makalahnya yang dipublikasi di website www//afi.unida.gontor.ac.id, dikutip dari Sayyid Thanthawi, upaya untuk menghindarkan diri dari segala yang berpotensi membawa bahaya dan menyakiti diri. Dapat dikatakan bahwa apapun yang dilakukan dalam upaya menjaga diri, khususnya menghindarkan diri dari apa yang dilarang merupakan upaya implementasi taqwa atas dasar ketakutan kepada Allah sekaligus untuk merawat diri dari hal negatif yang akan ditimbulkan. Sedangkan implementasi taqwa atas dasar cinta dapat dilihat pada saat seorang muslim melakukan dan atau melaksanakan perintah yang diamanahkan kepadanya sebagai orang Islam. Sehingga dapat dipahami bahwa taqwa merupakan puncak pencapaian tertinggi atas usaha yang dilakukan sebagai bentuk kepatuhan atas dasar, cinta dan atau takut kepada Allah dengan senantiasa mengharap ridho-Nya.

Apakah penjelasan tersebut sudah menjawab pertanyaan sebelumnya? tentu belum sepenuhnya. Sebab masih perlu dijelaskan, bagaimana puasa dapat membawa seseorang pada ketaqwaan.

Dengan demikian. Perlu dipertegas, bahwa Sebagai perintah yang disampaikan oleh Allah swt melalui Firman-Nya. Taqwa mengandung dua hal sekaligus, yakni perintah dan juga di dalamnya terdapat bermacam hal yang harus ditinggalkan. Keduanya berkesinambungan. Menjalankan perintah berpuasa, sekaligus konsekuensi melanggar perintah apabila melakukan suatu kegiatan yang memang pada dasarnya dilarang oleh Allah swt. Sebagai contoh. Salah satu larangan agar tidak dilakukan ketika sedang berpuasa adalah Ghibah. Ia berpotensi membatalkan puasa seseorang karena itu dilarang dalam Islam. Jelas karena arahnya yang dapat memobilisasi kepada konflik dalam kehidupan sosial dan memudarkan penghormatan kepada sesama manusia.

Selain itu. Ayat-ayat yang disebutkan di atas juga menjadi penjelas bahwa puasa dapat mengantarkan kepada taqwa. Dalam hal ini, perlu pemahaman mendalam tentang upaya meyakini kebenaran Al-qur'an maupun kitab sebelumnya yang menyampaikan perintah untuk bertaqwa. Juga dapat dilihat sebagai sarana penyadaran umat Islam pada khususnya untuk melihat dan merasakan bagaimana saudara-saudara Islam yang lain ketika tidak memiliki asupan bahan pokok untuk dikonsumsi. Dengan merasakan hal demikian, seseorang dimaksudkan untuk dapat lebih membuka mata dan memudahkan hati setiap orang Islam tergerak untuk membantu sesama umat. Baik umat Islam maupun umat manusia pada umumnya.

Secara singkat. Dapat dikatakan bahwa puasa merupakan sarana sekunder untuk mencapai gelar taqwa yang muatannya mengandung perintah. Sehingga setiap larangan yang dilakukan ketika melaksanakan ibadah tersebut dapat membatalkan puasa atau pun amal ibadah atas puasa yang dikerjakan. Di dalamnya mengandung upaya penyadaran untuk kembali kepada jiwa primordial dan kefitrahan sebagai manusia suci yang taat pada Allah swt sehingga berimplikasi pada ketaatan menjalankan perintah dan menjauhi larangannya. Hal ini pada dasarnya juga berguna bagi kehidupan sosial di dunia untuk menghadirkan pola kehidupan yang harmonis dan rukun. Hal ini senada dengan yang ditulis oleh Nurcholis Madjid dalam bukunya "Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat"

Arti penting puasa bukan dilihat dari seberapa lama seorang muslim mampu menahan lapar dan dahaga. Tapi seberapa banyak perintah yang dilaksanakan dalam kondisi yang lemah dan seberapa banyak larangan yang ditinggalkan pada saat melaksanakannya. Agar dapat dipahami bahwa taqwa merupakan bentuk abstrak dari kehidupan sosial yang teratur untuk menciptakan keadilan di dunia yang dilakukan oleh umat manusia itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan dalam buku "Islam dan Teologi Pembebasan" karangan Asghar Ali Engineer, bahwa keadilan merupakan manifestasi dari ketaqwaan. Sehingga keadilan dapat dicapai pada tahapan masyarakat yang saling mengerti dan memahami satu sama lain, dan saling menyadari fitrahnya sebagai manusia untuk saling menjaga dari kerusakan yang mungkin terjadi.

Puasa & Zakat

Dalam hal relasi antara puasa dan zakat. Tampak jelas bahwa puasa merupakan ibadah yang didalamnya kita dituntun untuk menyelami jiwa kesucian yang ada dalam diri serta untuk merasakan bagaimana kehidupan yang dialami oleh orang-orang yang mungkin setiap harinya, sulit memperoleh makanan untuk dikonsumsi. Aktifnya kepekaan tersebut akhirnya butuh infrastruktur agar kepekaan sosial yang sudah aktif tersebut dapat diimplementasikan sebagai bentuk kecintaan kepada sesama manusia. Infrastruktur yang dimaksud adalah zakat.

Meskipun sifatnya yang memaksa. Namun zakat tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang menyiksa. Sebab, harta yang dikeluarkan juga berguna penting bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Ketaatan membayar zakat merupakan bentuk kepatuhan atas perintah yang diberikan oleh Allah swt sekaligus berguna bagi umat Islam dalam mengimplementasikan kepekaan yang diperoleh pasca menemui jiwa suci dalam dirinya ketika selesai melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan di Bulan Ramadhan.

Kedua istilah tersebut juga dilihat pada posisi hirarkinya dalam Rukun Islam. Bahwa pembayaran zakat dilakukan setelah melaksanakan ibadah puasa. Meskipun puasa juga dimaknai sebagai upaya penyucian. Namun, perlu diingat bahwa penyucian dalam pelaksanaan ibadah puasa merupakan penyucian yang sifatnya individual dan terbatas pada diri secara lahiriah dan juga batiniah. Sedangkan harus dipahami bahwa kedua hal tersebut merupakan bawaan sejak lahir. Sedangkan, ada sesuatu yang melekat dalam diri yang diperoleh ketika sudah menjalani kehidupan di dunia, yaitu harta. 

Menyadari bahwa harta merupakan sesuatu yang melekat pada diri sebagai seorang manusia, maka ia juga penting untuk dijamin kesuciannya. Disinilah perlu dilihat, bagaimana cara mensucikan harta. Serta alasannya untuk disucikan?

Secara luas, zakat dalam arti bahasa dikatakan sebagai penyucian harta. cara mensucikan harta yang dimaksud dalam zakat adalah mengeluarkan sebagian harta dengan kadar/ jumlah tertentu untuk dialokasikan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat. Kelompok yang dimaksud tersebut adalah mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang memiliki kesulitan dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar. Khususnya yang lumrah dikenal sebagai penerima zakat yaitu, Pelajar, Yatim, orang yang sedang dalam perjalanan dsb.

Alasan utama mengeluarkan sejumlah harta yang dimiliki untuk disalurkan dalam kehidupan sosial bukan sekadar sebagai ketaatan atas perintah yang sifatnya ibadah vertikal kepada Allah swt. Tapi juga menyadari bahwa ada sebagian hak orang lain dalam harta yang ada pada kita sebagai seorang muslim, dan wajib menyalurkannya kepada mereka yang dianggap memiliki hak, berdasarkan kategori yang dimaksud sebagai target penerima zakat.

Dari sini, dapat dipahami bahwa nilai sosial yang dapat diperoleh umat Islam dalam menyadari keberadaan orang lain di sekitarnya serta kondisi ekonomi yang dialami, perlu dimanifestasikan dalam bentuk yang riil/nyata. Metode penyaluran yang dimaksud adalah pelaksanaan pembayaran zakat pasca menjalani masa ibadah puasa di Bulan Ramadhan. 

Mengaktifkan kepekaan dan rasa tenggang rasa dan saling mencintai sesama, ditumbuhkan pada pelaksanaan ibadah puasa di Bulan Ramadhan. Khususnya dalam hal keterbatasan ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan dasar sebagai manusia. Kesadaran yang terbentuk dari dalam diri umat Islam, diharapkan mampu menjadi landasan bagi hadirnya distribusi ekonomi kepada pihak-pihak yang kurang beruntung secara finansial. Dengan demikian, zakat menjadi ditekankan bagi setiap umat Islam yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, guna menyalurkan sebagian harta kepada pihak-pihak yang sudah ditentukan dalam ajaran Islam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun