Mohon tunggu...
Muhammad Iswan
Muhammad Iswan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Indonesia

apa yang kau lakukan sekarang adalah masa depanmu di masa lalu, dan apa yang kau lakukan di masa sekarang adalah pengantar menuju masa yang kelak kau sebut 'hari ini'.

Selanjutnya

Tutup

Love

Selimut Hangat dalam Gelap

30 Oktober 2021   15:36 Diperbarui: 30 Oktober 2021   16:04 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

 

Hadir di dalam gelap memang selalu membawa misi bagi aku yang manusia dalam usaha dan fasilitas serta keterbatasan pikir agar dapat menjangkau dan menelisik ke mana akan melangkah dengan terlebih dahulu mencari arah dari titik-titik cahaya. 

Terang atau redup adalah urusan belakang, yang terpenting adalah melangkah untuk kian mendekat kepada titik di mana sebuah cahaya seakan memberi tuntunan yang memanggil untuk didekati dan kemudian membawa keluar dari gelap yang telah menyiksa hingga kaki pun enggan melangkah.

Malam adalah kawan bagiku menapaki setiap inci sesuatu yang ada dan dapat dijangkau kesadaran pikir dalam diriku. Meski pada dasarnya aku pun belumlah sepenuhnya paham tentang siapa dengan mengapa ada aku yang hingga sekarang belum mampu memahami diriku sendiri. 

Ketenangan yang dihantarkan oleh gelap malam bersama angin yang kadang membuat kulitku mengkerut keriput ternyata juga membawa damai hingga aku kadang terpaksa membalutkan selimut di sekeliling tubuhku. Aku tak sanggup berontak pada malam dingin yang kian memaksaku tuk menghempaskan diri di atas kasur saja.

Rasa malas yang timbul dari dalam diri telah membuatku tertidur pulas dalam kesunyian pikir. Gelap meninabobokanku yang tak sanggup dalam upayaku sendiri. 

Cahaya atau bahkan percikannya pun kadang tak kusadari kehadirannya dalam keenggananku mencari arah. Jangankan untuk melangkah, kadang dan lebih banyak bahkan otak pikirku begitu jauh bersemayam dalam posisi cinta dalam diriku sampai-sampai aku pun tak rela jika ia harus mnderita sakit akibat pikir yang dapat menjeratnya melakukan circle tak berujung. Cintaku yang dalam itu kian kumanja agar tak kudapati ia menderita akibat kerjaan serakah dari indra dan naluriku.

Di penghujung tidurku yang pulas, tak dapat kupungkiri bahwa memang bangkit darinya adalah manusiawi. Tak perlu mendikteku tentang tidur panjang yang tak lagi dapat Kembali menjajaki indahnya dunia, sebab hidup dalam kesunyian pikir pun sudah jadi kematian bagiku karena tak jua kususuri keindahan itu, atau mungkin memang keindahan itu yang tak sudi menemuiku yang juga sudah mulai resah hampir putus asa menantinya? Entahlah. 

Hal yang kudapati hingga saat ini adalah nyenyak tidurku tak dapat bertahan lama, bangunku kadang menjadi kesadaranku bahwa aku telah lama tak menemui batas-batas penglihatanku dan juga batas pendengaranku. 

Kadang pula aku terbangun sebab utopia mimpi yang kuperoleh dalam nyenyak. Utopia hidup yang menjadi dambaku itu kadang bergiliran dengan dystopia sosial politik dunia menghampiriku dalam diamku yang sunyi tanpa pikir atau pun usaha untuk berpikir. Entah apa, bagaimana dan untuk apa ia menghampiriku jika hanya untuk memberi harap.

Aku masih keheranan dengan kehadiran hal-hal yang tak kuharap itu. tapi yang kupahami adalah ia hendak menyampaikan pesan kepadaku dan karena kecintaanku pada fasilitas dan daya pikirku aku tak menggunakannya untuk menyimak kehadiran-kehadiran itu. Aku tak yakin bahwa sang pemberi fasilitas pikir ini akan marah padaku, toh pemberian atau titipannya masih kujaga agar jangan terkotori dengan hal-hal yang tak kudapati kebahagiaan dan keindahannya itu.

Tapi kenapa mimpi dan hujung dari kepulasanku tidur itu selalu mengganggu. Apakah ada tugasku yang belum lagi selesai? Atau pakah masih ada hal lain yang menantiku di belahan dinding ini? mungkinkah mereka butuh diriku yang berpikir? Atau mungkinkah mereka menghendakiku untuk mencintai daya dan fasilitas pikirku dengan cara yang berbeda? 

Sepertinya aku harus mencaritahunya? Tapi sebenarnya dengan bagini, aku pun sudah sadar bahwa aku telah mengeluarkan cinta itu dari dalam kenikmatan persembunyiannya. Tapi apa benar aku berdosa karena mengotorinya dengan perkara dunia?

Apalah daya guna kesadaran jika tak mampu aku ubah menjadi realita. Malamku telah membenamkanku dalam kenyenyakan beserta dengan kesesatan pikir. 

Kukira aku tidak berpikir, ternyata dalam pilihanku untuk terbaring acuh dengan dunia pun merupakan hasil buah pikir yang tak dapat kutangkap alurnya, apalagi untuk membatasi kinerjanya. 

Aku hendak menguncinya dalam kamar cintaku tapi bukankah itu juga hasil kompromiku dengan si pikiran yang ada dalam bagian diriku. Tapi kenapa Kembali tanya yang muncul. Lalu siapa diriku dan siapa pikiranku. Entitas kami berbeda atau integrasi antara pikir dan diriku yang menjadikanku ada dan bermakna?

Lagi-lagi malam mengunci aku dan pikiranku dengan di dalam kamar cinta yang kuncinya ditarik sendiri oleh organ tubuhku yang lain. Lalu ke mana dan bagaimana aku mampu mengendalikan pikiranku? Haruskah kucari dan kupahami dahulu sosok pikir atau harus kupahami dahulu entitas diriku yang berpikir?

Nampaknya aku sudah terlalu jauh mengotori pikiranku. Lagipula, rasanya dingin sudah merasuk lagi dalam pertahananku. Kenapa ketika angin malam itu tiba, rasanya tulangku melemah, mulutku kaku serta kaki tanganku terasa begitu malas untuk digerakan. 

Posisiku, aku sedang dalam kesadaran bahwa pikiranku masih berpikir, dan harusnya gerak tubuhku adalah hasil diskusi dengan bagianku yang berpikir ini. tapi kenapa aku lalai dalam mengintegrasinya.

Malam-malam yang kulalui juga bergiliran menyantuni dan membersamaiku dalam waktu lama dan suatu waktu hanya terasa beberapa saat saja mampu bertahan denganku. Meski begitu, aku sudah menyinggungnya di atas, cahaya-cahaya yang muncul dari gelapku ini selalu saja memberi ruang bagiku untuk tetap dalam ketenangan pikir meski mulutku bungkam untuk berargumentasi. Aku takut ketika suaraku mengganggu sesiapa yang ada di ruang gelap ini, begitu pun dengan kakiku yang langkahnya enggan menopang tubuhku keluar dari zona ini.

Sampai kapan kemudian aku hanya merasakan dan memandangi cahaya-cahaya yang menerobos menembus dinding ini? haruskah pikir dalam diriku tetap kubiarkan terbelenggu dengan ketakutan seperti ini? zona nyaman kuharap dapat membawa Bahagia ternyata pelan-pelan malah menggerogoti diriku sendiri. 

Aku telah melakukan kesalahan dan tak akan kubiarkan kesadaranku ini berlalu begitu saja. aku tidak ingin mengalami gerusan ini kedua kalinya. 

Pikiranku, aku mohon padamu wahai pencipta pikiran dan diriku, ampunilah aku jika aku memang salah dalam menggunakan fasilitasmu tapi yang aku paham adalah harus kugunakan ia sebagai alat agar dapat kuberanikan diri menjemput sinar cahaya dan mendekati sumbernya, meski terkadang aku sendiri ragu untuk dapat benar-benar bersama dengan sumbernya itu. 

Jika memang aku salah karena kugunakan untuk menjawab tantangan yang mengganggu ketenangan hidupku, hukumlah aku, jangan pikiranku. Akulah yang memperalatnya untuk mengeluarkanku dari ketidaknyamanan hidupku dalam gelap kelam malam ini.

Demikian lama dan jauh, malam menyimpanku dalam sebuah keterkungkungan yang mebuatku lupa pada kesadaranku akan potensi pikir dalam diriku yang dibantah dan dimanja dengan cara meninabobokanku agar aku tak dapat memikirkan kesadaranku sendiri, tentang apa yang bersentuhan dengan penglihatan dan juga pendengaranku.

Beruntunglah bahwa kesadaranku membawa cinta yang lebih istiqomah menuju kedamaianku daripada sekadar menjadikan fasilitias pikirku sebagai cinta yang tersembunyi karena mencintainya dengan cara yang tidak ia sukai hingga menyadarkanku karena gerakan eksplosi darinya. 

Diriku telah dimanja oleh kondisi lingkunganku hingga berimbas pada daya pikirku yang kusalahartikan dengan mencintainya tanpa tahu kemanfaatannya, hingga akhirnya bahwa keengganan berpikir itu pula yang membuatku dan nasibku terus terkurung dalam kegelepan tanpa suatu bentuk usaha keluar menuju cahaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun