Sikap menyalahkan pihak lain sangat sering menghampiri manusia sebagai akibat dari ketidakpahaman atas dirinya. Keyakinan pada kesempurnaan penciptaan manusia memang masih langgeng diwariskan secara turun temurun. Kegagalan ketika melakukan sesuatu menjadikan manusia terlena mencari pembenaran bahwa ia tidak melakukan kesalahan. Tak jarang, pihak lain pun menjadi korban dari tuduhannya, termasuk setan-setan yang diyakini, banyak berkeliaran di muka bumi sembari menebar dan meniupkan seruan kepada perbuatan buruk ke dalam diri manusia.
Selama ini, tampaknya setan-setan yang berkeliaran itu masih dianggap sebagai suatu entitas eksternal dan terpisah dari tubuh manusia. Demikian pula malaikat. Namun, ketika mencoba menelisik lebih jauh, tampaknya anggapan ini perlu dikoreksi dan direfleksikan kembali. Salah satu indikasi yang digunakan untuk melihat ini adalah kehadirannya yang terus menerus dan tampaknya tidak pernah benar-benar jauh dari apa pun aktivitas manusia, termasuk ketika hendak melakukan ibadah pun, ia masih menghampiri.
Dua entitas yang dimaksud dalam tulisan ini adalah setan dan malaikat sebagai bayi kembar yang dalam suatu waktu, dapat berubah menjadi raja bagi tubuh hanya dalam hitungan detik saja. Setan sebagai entitas yang mengajak kepada keburukan dan malaikat yang dianggap sebagai sosok yang mengajak pada kebajikan. mereka memiliki potensi untuk mendominasi tidak laku manusia dalam kehidupannya.
Setan dan malaikat adalah potensi yang ada dalam diri setiap individu. Hal ini dapat dikatakan jika kedua entitas itu dianggap dan diyakini sebagai penggoda yang selalu hadir di setiap hembusan nafas manusia. Karena kerjanya yang menggoda dan hendak menyetir tindak laku manusia, maka ia hanya sekadar bersifat pontesi. Sedangkan aktulisasinya lebih mengarah pada kehendak bebas manusia untuk memilih kekuatan mana yang akan direalisasikan atau memilih alur pikir sendiri secara merdeka.
Kedua bayi yang terkandung dalam diri manusia memiliki peran masing-masing yang mestinya didialogkan. Ketika setan lebih membawa pada arah nafsu yang mengantarkan pada perbuatan yang buruk dan terkategorisasi jahat, dan malaikat sebagai entitas yang senantiasa membisikan kesabaran, maka keduanya tidak boleh dilenyapkan sama sekali.
Di dalam ajaran Islam, umatnya diberikan koridor untuk tidak larut dalam perilaku yang berlebihan. Melalui Islam pula, diketahui bahwa segala tindakan, tidak pantas dilakukan apabila sudah berlebihan. Hendaknya, perilaku manusia itu ada takarannya. Paling tidak, secara pribadi, seseorang dapat mengetahui dan memahami tindakannya sendiri agar tidak sampai terkesan berlebihan. Dengan demikian, tindakan manusia harusnya dapat melihat dan menakar nilainya tidak secara hitam-putih, melainkan lebih kolaboratif antar entitas yang diyakini memiliki pengaruh terhadap putusan.
Dari penggambaran tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa malaikat maupun setan tidak lantas diberikan panggung secara bebas dan menjadi raja yang memberi perintah pada diri manusia. Di sinilah peran akal dan hati untuk melakukan tugasnya; menakar seruan yang dikehendaki oleh dua bayi mungil ini agar tidak membesar seketika.
Bayangkanlah bahwa individu manusia merupakan ibu yang membimbing anak-anaknya (Setan dan Malaikat). Sedangkan dua entitas yang bersemayam dalam diri merupakan bayi-bayi mungil yang terlahir dengan cara pandang yang sama sekali berbeda dan keinginan keduanya memberi dampak besar pada kehidupan ketika diikuti dan dilakukan oleh sang ibu.
Ibu tentu harusnya lebih paham kondisi dan memiliki pengetahuan tentang apa yang harusnya dilakukan berdasarkan pengalaman yang sudah ada, termasuk pengalaman dengan bisikan dari bayi-bayi kecil yang pernah bersentuhan dengannya di masa lalu.
Dari penggambaran tersebut. Dapat dipahami bahwa setan maupun malaikat adalah potensi yang masih kecil dan dapat dilihat tidak lebih dari bayi-bayi yang ada dalam rumah. Tingkah setan yang nakal dapat membuat seisi rumah menjadi berantakan. Sedangkan malaikat yang begitu baik, dan dipenuhi penerimaan dapat menjadikan seisi rumah menjadi monoton dan sulit untuk berkembang karena sulit mengambil keputusan akibat kepatuhannya.
Meski tidak berbicara tentang teknis untuk melakukan sesuatu secara baku. Namun kedua entitas ini memiliki pengaruh untuk mengarahkan pada suatu perbuatan yang, konsekuensinya sudah dapat ditebak ketika memilih satu entitas untuk mendominasi setiap keputusan yang diambil.
Setan dan malaikat hanya entitas kecil, bayi, yang tidak memiliki kemerdekaan dalam diri manusia, kecuali diberikan jala untuk itu. Ketika hal ini terjadi, maka dampak yang akan hadir, merupakan suatu konsekuensi logis yang pada dasarnya sudah dipahami akan berujung pada nilai yang dikehendaki oleh entitas dominan, setan atau pun malaikat.
Dengan memahami fungsi, kelemahan serta masing-masing unggulan, maka penting untuk menakar kehadiran mereka dalam menentukan suatu hal. Bahkan untuk hal-hal yang dianggap kecil sekalipun. Akal dan hati menjadi penyaring atas bisikan yang kemudian juga sebagai penentu atas kebijaksanaan seorang individu. Tapi akal dan hati saja tidak cukup. Sebelumnya, kedua alat pengetahuan vital manusia ini harus dibekali oleh ilmu dan juga perasaan halus dan bersih yang bisa berdasar pada pengalaman masa lalu.
Menyadari bahwa keduanya hanya potensi yang terpendam dan dapat meluap ketika membiarkannya keluar lalu menguasai diri, maka hati dan akal seseorang harus diaktifkan untuk menakar sesuatu yang akan diberikan keputusan untuk dilakukan. Dialog dengan diri sendiri yang diwakili oleh akal dan hati sangat penting agar kedua entitas, setan dan malaikat, tidak sekenaknya menjadi dominan di dalam diri. Selain itu, dialog antara suara bisik keburukan dan kabajikan pun tak boleh luput dari perhatian. Dalam pengambilan keputusan yang sifatnya individual atau pun sosial, hal tersebut cukup krusial untuk dijadikan pertimbangan.
Asumsi buruk manusia tentang setan tidak lantas menjadikan entitas yang satu ini terus dimusuhi. Sebab jika itu terjadi, maka saat itu pula, hati telah dikotori dengan keburukan. Sedangkan malaikat sebagai entitas penggoda untuk melakukan kebajikan, juga tidak boleh diberi wewenang lebih yang menjadikannya dominan di dalam diri. Keduanya mesti didialogkan secara merdeka oleh pikiran dan hati, sebagai hakim bagi diri secara entitas individu yang merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H