Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sebuah Perjalanan Memaafkan Tidak Sesulit Melupakan

13 Agustus 2024   21:00 Diperbarui: 13 Agustus 2024   21:03 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ingatan itu datang tanpa diundang, sejelas film yang diputar ulang dalam benak. Saat itu, kata-kata tajam menusuk hatiku seperti belati. Kepercayaan yang telah lama kubangun runtuh seketika. Rasa sakit, marah, dan kecewa bercampur aduk dalam dada. 

Aku berusaha keras untuk memaafkan, namun luka yang ditinggalkan terasa begitu dalam. Seolah-olah ada bagian dari diriku yang hancur, meninggalkan jejak yang sulit untuk dihapus. Setiap kali ingatan itu muncul, perasaan yang pernah begitu kuat kembali menghantamku, membuatku bertanya-tanya: Apakah aku benar-benar bisa memaafkan?

Pengalaman Pribadi

Pengalaman ini bermula ketika aku baru saja lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan impian. Aku ingat betapa bahagianya diriku saat itu. 

Semua tampak sempurna, hingga suatu hari, teman terdekatku, seseorang yang selalu aku percayai dan anggap sebagai saudara, mengkhianatiku dengan cara yang tak pernah terbayangkan. 

Ia menyebarkan gosip yang tidak benar tentangku di tempat kerja, yang akhirnya membuatku kehilangan pekerjaan tersebut.

Dunia seakan runtuh saat itu. Aku merasa dikhianati, kesepian, dan tidak percaya pada siapa pun. Selama berhari-hari, aku merenungkan apa yang telah terjadi. Bagaimana seseorang yang aku anggap sebagai sahabat bisa melakukan hal seperti itu? 

Perasaan marah dan dendam menyelimuti hatiku, membuatku sulit tidur di malam hari. Aku berusaha mencari jawaban, namun semakin aku mencoba memahami, semakin dalam luka itu terasa. Di satu sisi, aku ingin memaafkannya agar bisa melanjutkan hidup, namun di sisi lain, rasa sakit yang ditinggalkan begitu mendalam hingga sulit bagiku untuk melupakan.

Pengalaman pahit ini menuntunku pada sebuah pertanyaan yang terus mengganggu pikiranku: Mengapa begitu sulit untuk melupakan, meskipun kita telah memaafkan? Apakah memaafkan benar-benar bisa membuat kita merasa lebih baik, atau justru akan meninggalkan luka yang terus menganga?

Dengan rasa ingin tahu yang besar, aku mulai menggali lebih dalam tentang fenomena ini. Aku membaca berbagai literatur, berbicara dengan para ahli, dan yang paling penting, mendengarkan cerita dari orang-orang yang memiliki pengalaman serupa. 

Aku ingin memahami mengapa proses memaafkan bisa begitu rumit, dan apa yang sebenarnya terjadi di dalam diri kita ketika kita mencoba untuk memaafkan seseorang yang telah melukai kita.

Selama proses pencarian ini, aku menemukan bahwa memaafkan bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah. 

Ada banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memaafkan, mulai dari kedalaman luka yang dirasakan, hubungan dengan orang yang menyakiti kita, hingga pengalaman masa lalu yang mungkin mempengaruhi cara kita memandang pemaafan.

Di dalam keseharian aku menemukan banyak cerita yang serupa dengan pengalaman yang kualami. Ada yang mengalami pengkhianatan dalam hubungan asmara, ada pula yang dikhianati oleh anggota keluarga atau teman dekat. 

Mereka semua memiliki satu kesamaan, yaitu kesulitan untuk melupakan luka yang pernah mereka rasakan, meskipun mereka telah berusaha keras untuk memaafkan.

Salah satu cerita yang paling mengena adalah dari seorang wanita yang dikhianati oleh suaminya. Setelah bertahun-tahun menikah, ia menemukan bahwa suaminya telah berselingkuh dengan teman dekatnya sendiri. 

Meskipun ia akhirnya memutuskan untuk memaafkan suaminya demi anak-anak mereka, wanita itu mengaku bahwa luka yang ditinggalkan sulit untuk dihilangkan. Setiap kali ia melihat suaminya, ia teringat akan pengkhianatan itu, membuatnya sulit untuk sepenuhnya mempercayai suaminya lagi.

Cerita lainnya datang dari seorang pria yang dikhianati oleh sahabatnya sendiri dalam bisnis. Setelah bekerja keras untuk membangun bisnis bersama, sahabatnya justru mencuri ide dan memulai bisnis serupa sendirian. 

Pria tersebut mengaku bahwa meskipun ia telah memaafkan sahabatnya, ia tidak bisa melupakan perasaan dikhianati dan ketidakadilan yang ia rasakan. Ia bahkan memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan sahabatnya demi menjaga kesehatan mentalnya.

Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa memaafkan tidak serta merta menghilangkan luka. Bahkan, dalam beberapa kasus, luka tersebut justru semakin dalam karena harapan kita bahwa pemaafan akan menghapus rasa sakit ternyata tidak terwujud. Hal ini menuntun pada pertanyaan penting: Mengapa begitu sulit untuk melupakan, bahkan setelah kita memaafkan?

Mengapa Sulit Melupakan?

Dari berbagai cerita yang aku kumpulkan, muncul beberapa alasan umum mengapa sulit untuk melupakan luka, meskipun kita telah memaafkan:

1. Trauma Emosional

Peristiwa menyakitkan dapat meninggalkan trauma yang mendalam, baik secara emosional maupun psikologis. Trauma ini dapat mempengaruhi cara kita memandang diri sendiri dan orang lain, serta bagaimana kita berinteraksi dengan dunia di sekitar kita. 

Luka emosional sering kali lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik, karena ia terus mengingatkan kita akan peristiwa menyakitkan tersebut.

2. Ketidakpercayaan yang Hancur

 Kepercayaan adalah fondasi dari setiap hubungan, dan ketika kepercayaan tersebut hancur, sulit untuk membangunnya kembali. Meskipun kita mungkin memaafkan orang yang telah melukai kita, perasaan tidak aman dan ragu sering kali tetap ada, membuat kita sulit untuk sepenuhnya mempercayai orang tersebut lagi.

3. Ketakutan akan Pengulangan

 Ketakutan akan terluka kembali dapat membuat kita sulit untuk benar-benar membuka hati. Ketika kita telah dikhianati, kita mungkin menjadi lebih waspada dan berhati-hati dalam berhubungan dengan orang lain, karena kita takut akan mengulangi kesalahan yang sama.

4. Dendam yang Tersisa

Meskipun kita berusaha untuk memaafkan, sering kali ada rasa dendam yang masih tersisa di dalam hati. Dendam ini mungkin tidak selalu tampak di permukaan, namun ia bisa muncul dalam bentuk perasaan marah atau kesal yang terus-menerus terhadap orang yang telah melukai kita.

Proses Memaafkan

Memaafkan bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah proses yang panjang dan penuh tantangan. Ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan dalam semalam, melainkan membutuhkan waktu, kesabaran, dan kekuatan batin. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat membantu dalam proses memaafkan:

1. Menerima Kenyataan

Langkah pertama adalah menerima bahwa peristiwa menyakitkan itu memang terjadi. Mencoba untuk menyangkal atau menyalahkan diri sendiri hanya akan memperpanjang penderitaan. Dengan menerima kenyataan, kita bisa mulai bergerak maju dan fokus pada proses penyembuhan.

2. Memahami Perspektif Orang Lain

 Cobalah untuk melihat situasi dari sudut pandang orang yang menyakiti kita. Meskipun sulit, mencoba memahami alasan di balik tindakan mereka dapat membantu kita untuk lebih mudah memaafkan. Mungkin ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi perilaku mereka, yang mungkin tidak kita sadari sebelumnya.

3. Menulis Jurnal

Menulis tentang perasaan kita dapat membantu kita untuk lebih memahami diri sendiri dan melepaskan emosi negatif. Dengan menuangkan pikiran dan perasaan kita ke dalam tulisan, kita bisa mendapatkan perspektif baru dan menemukan cara untuk memproses pengalaman kita.

4. Berbicara dengan Orang yang Dipercaya

Berbagi cerita dengan orang yang kita percayai dapat memberikan dukungan dan perspektif yang berbeda. Kadang-kadang, mendengar pendapat dari orang lain bisa membantu kita melihat situasi dengan lebih objektif dan menemukan jalan keluar yang mungkin belum kita pikirkan sebelumnya.

5. Berdoa atau Meditasi

Berdoa atau meditasi dapat membantu kita untuk menemukan kedamaian batin dan memaafkan dari hati. Dengan mencari ketenangan dalam diri, kita bisa melepaskan rasa sakit dan dendam, serta membuka hati kita untuk memaafkan dengan tulus.

Memaafkan dan Melupakan: Dua Hal yang Berbeda

Memaafkan tidak berarti melupakan. Kita bisa memaafkan seseorang tanpa harus melupakan apa yang telah mereka lakukan. Luka yang pernah kita rasakan akan tetap ada, namun kita dapat memilih untuk tidak membiarkan luka itu menguasai hidup kita. Memaafkan adalah langkah untuk membebaskan diri dari beban emosional, sementara melupakan adalah pilihan untuk tidak lagi membiarkan masa lalu mengontrol kita.

Dalam banyak kasus, memaafkan seseorang bisa menjadi langkah pertama menuju penyembuhan. Namun, penting untuk diingat bahwa proses ini membutuhkan waktu dan tidak harus memaksakan diri untuk melupakan segera. Setiap orang memiliki cara dan waktu yang berbeda untuk memaafkan dan melupakan, dan itu adalah hal yang wajar.

Perjalanan menuju pemaafan adalah sebuah proses yang penuh tantangan. Namun, dengan kesabaran dan dukungan dari orang-orang terdekat, kita dapat melepaskan diri dari belenggu kebencian dan dendam. 

#Memaafkan lalu Melupakan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun